Anggota DPR RI: Presidential Threshold 0 Persen Berpotensi Hilangkan Keserentakan Pemilu
Ilustrasi wacana pemilu pada tanggal 21 Februari 2024 dan pilkada pada tanggal 27 November 2024. (Dok Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai wacana penurunan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) menjadi 0 persen berpotensi menghilangkan sifat keserentakan pemilu anggota legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).

Zulfikar Arse Sadikin di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur keserentakan pemilu yang menghendaki dilaksanakan dalam 1 hari pemungutan suara, terutama Pilpres satu putaran.

Kalau PT sebesar 0 persen, menurut dia, bisa membuat semua partai memiliki pasangan calon, bahkan pilpres berpotensi tidak bisa satu putaran selesai karena UUD NRI Tahun 1945 mengharuskan pemenang pilpres itu meraih suara 50 persen plus satu suara dengan sebaran 20 persen dari jumlah provinsi. "Jadi, kalau presidential threshold 0 persen, akan terjadi dua putaran," kata Zulfikar.

Ia menjelaskan maksud pemilu serentak itu untuk mengatasi pembelahan pemerintahan dalam sistem presidensial dan multipartai yang dianut Indonesia.

Menurut dia, pemilu serentak tersebut bertujuan agar pemenang pilpres sekaligus menjadi pemenang di pileg. "Jadi, kalau pileg dan pilpres tidak dilaksanakan dalam 1 hari pemungutan suara dan tidak satu putaran, maksud keserentakan pemilu itu tidak tercapai," ujarnya.

Zulfikar menekankan bahwa Partai Golkar menitikberatkan pada apa yang mau dicapai dalam pemilu serentak sehingga PT merupakan "jembatan" untuk memperkuat sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia.

Ia berpendapat bahwa besaran PT yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu sebesar 20 persen, secara teori probabilitas bisa memunculkan 4—5 pasangan calon presiden/wakil presiden. "Kalau itu muncul, masyarakat diberi ruang untuk memiliki calon alternatif. Partai ketika mau mencalonkan pasangan calon akan mempertimbangkan banyak hal, seperti suara publik dan figur yang akan dicalonkan," katanya seperti dilansir Antara.

Menurut dia, apabila mau mengubah norma dalam UU Pemilu, bisa dengan revisi dan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Ia mengatakan bahwa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang sudah sependapat tidak akan merevisi UU Pemilu dan kesepakatan itu ditegaskan dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pemilu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.

"Beberapa pihak sudah mengajukan uji materi ke MK, kita lihat saja hasilnya karena sebelumnya sudah dilakukan hal yang sama. Kalau MK mengabulkan gugatan itu, pembentuk UU harus menghormati dan menindaklanjuti. Namun, kalau tidak, semua pihak harus menghormati," katanya Zulfikar Arse Sadikit seputar pemilu dan presidential threshold.