JAKARTA - Polri menyatakan proses revisi undang-undang narkotika segera hampir rampung. Pernyataan itupun menjawab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yassona Laoly yang meminta merevisi undang-undang narkotika sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan over kapasitas di Lembaga Permasyarakatan (Lapas).
"Itu sudah final, rapat antar selevel menteri, kepala lembaga. Kami juga diundang, Polri waktu Pak Kadivkum dan saya sendiri mewakili Bapak Kapolri itu sudah finalisasi diambil alih oleh Pak Menko dan saat ini sudah ada di Setneg, mungkin tandatangan Pak Presiden nanti akan dibawa ke DPR," ujar Direktur Tindak Pidana Narkoba Brigjen Krisno Halomoan Siregar kepada wartawan, Kamis, 16 Desember.
Krisno berharap kemungkinan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yang baru akan diterapkan pada 2022 mendatang.
Nantinya, dalam undang-undang yang baru itu, setidaknya ada enam syarat bagi para tersangka narkotika yang bisa menjalani rehabilitasi.
Pertama, dinyatakan positif menggunakan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik. Kemudian, tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir.
Ketiga, tidak ditemukan barang bukti narkotika atau dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu hari. Selanjutnya, dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalah guna narkotika, atau penyalah guna narkotika berdasarkan hasil asesmen terpadu.
Syarat kelima, belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung surat keterangan yang dikeluarkan pejabat atau lembaga yang berwenang. Terakhir adanya surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya.
"Jadi dugaan saya sih 2022 kita akan punya Undang-Undang yang baru," kata Krisno.
BACA JUGA:
Ada pun, Yasonna sempat menyebut bahwa akses masyarakat terhadap keadilan dilakukan dengan revisi atas UU Narkotika yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi darurat narkoba di Indonesia seperti sekarang.
Sebab, pemidanaan pengguna narkotika seperti diatur UU Nomor 35 Tahun 2009 bukan cuma mengurangi keberhasilan penyembuhan pengguna, tetapi juga menyebabkan lapas dan rutan mengalami kelebihan penghuni.
"Dalam praktiknya, semua pemakai dimasukkan menjadi pelaku, bukan mengedepankan pendekatan pemulihan bagi pecandu atau melakukan rehabilitasi. Akibatnya, lapas dan rutan menjadi over crowded. Lebih dari 60 persen penghuni lapas dan rutan di Indonesia merupakan pelaku tindak pidana narkotika," ucap Yasonna.
"Dalam revisi UU Narkotika, pemerintah hendak membina pecandu agar dapat hidup bersih dan sehat terbebas dari jerat narkoba. Rehabilitasi serta penyembuhan secara medis dan sosial harus menjadi opsi prioritas," sambungnya.