Bagikan:

JAKARTA - Pansus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), menargetkan RUU tersebut disahkan menjadi UU pada awal 2022. Ketua Pansus Ahmad Doli Kurnia, menegaskan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR sepakat dibutuhkan pemindahan IKN.

Menyikapi hal ini, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, mengatakan kesepakatan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR menguatkan dugaan, pemindahan IKN untuk mengakomodir kepentingan elit daripada rakyat.

"Elit yang dimaksud disini adalah eksekutif dan dan partai pendukung pemerintah," ujar Jamiluddin, Senin, 13 Desember.

Menurutnya, mayoritas fraksi di DPR yang mendukung pemindahan IKN itu akan dijadikan stempel untuk memuluskan keinginan para elit tersebut dengan target selesai awal 2022.

"Selain itu, RUU IKN inisiatif dari eksekutif. Hal ini mengindikasikan pemindahan IKN memang lebih dominan keinginan pemimpin (elit, red) daripada rakyat," katanya.

Pemindahan IKN, kata Jamiluddin, semakin elitis karena Presiden Joko Widodo yang menetapkan lokasi IKN baru. Jokowi setelah meninjau Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, akhirnya memutuskan lokadi IKN baru seluas 180 ribu hektar di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

"Dilain pihak, rakyat hingga sekarang belum pernah ditanyakan apakah setuju IKN dipindahkan. Rakyat juga tidak pernah ditanya di mana lokasi IKN yang baru," kata Jamiluddin.

"Rakyat tiba-tiba dikejutkan, lokasi IKN yang baru sudah ditetapkan. Cara penetapan lokasi IKN ini layaknya seperti di zaman kerajaan saja. Saat raja ingin memindahkan ibu kota kerajaannya, sang raja pun meninjau beberapa lokasi. Kalau sang raja merasa cocok, ia pun mengeluarkan titah dengan menetapkan lokasi ibu kota kerajaannya yang baru. Raja merasa itu haknya, dan rakyat harus ikut titah sang raja," sambungnya.

Akan tetapi, dikatakannya, Indonesia sekarang menganut demokrasi. Presiden tidak bisa seperti raja mengeluarkan titah pemindahan IKN. UUD 1945 yang diamandemen juga tidak memberi kewenangan kepada presiden untuk menetapkan IKN baru, termasuk lokasinya.

Karena itu, tambah Jamiluddin, kalau negeri ini masih merasa menganut demokrasi, pemindahan IKN dan penetapan lokasinya seharusnya mendapat persetujuan dahulu dari rakyat. Rakyat harus ditanya melalui referendum tentang dua hal.

"Pertama, apakah rakyat setuju IKN dipindahkan? Dua, kalau setuju, di mana lokasi IKN yang diinginkan? Kalau rakyat setuju, barulah disusun RUU IKN untuk dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Bukan sebaliknya, elit ingin IKN dipindahkan dengan menetapkan dahulu lokasinya, baru dibuat RUU untuk disahkan oleh DPR RI. Masalahnya, apakah negeri ini, terutama elit negeri, masih komit untuk berdemokrasi?," tandas Jamiluddin.

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Ahmad Doli Kurnia menargetkan, RUU IKN dapat disahkan pada awal tahun 2022 mendatang.

Doli optimistis, pembahasan RUU IKN dapat rampung selama dua masa sidang DPR yakni masa sidang saat ini dan masa sidang berikutnya.

"Awal tahun (diselesaikan). Jadi kan kita ini masa sidang berjalan sampai tanggal 16 (Desember) kemudian reses, tanggal 11 Januari masuk, nah sampai Februari-an ya di antara itu," ujar Doli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 9 Desember.

Doli meyakini, pembahasan RUU IKN tidak akan berjalan alot karena pemerintah dan DPR juga telah membangun kesepakatan agar RUU IKN dapat selesai sesegera mungkin.

Politikus Partai Golkar itu menuturkan, substansi yang perlu dibahas dari RUU IKN juga tidak terlalu banyak karena RUU tersebut hanya terdiri dari 34 pasal dan 8 bab.

"Jadi sebetulnya dari segi teknis pembahasan undang-undang tidak terlalu banyak yang dibahas. Tapi karena ini sesuatu yang penting, kita juga perlu mendengarkan aspirasi masyarakat kemudian kita akan datangi kampus-kampus di seluruh Indonesia," kata Doli.