Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata diminta membaca Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ia dianggap gagal paham setelah mengatakan kepala desa yang melakukan korupsi dalam jumlah kecil tak perlu dipenjara karena menganggap hukuman itu tak efektif.

Alexander Marwata mengatakan pengembalian kerugian keuangan ke kas desa dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan memenjarakan kepala desa yang terlibat penyimpangan anggaran. Hal ini disampaikannya saat meluncurkan Desa Antikorupsi di Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta pada Rabu, 1 Desember lalu.

"Saya rasa yang perlu dipikirkan ke depan, termasuk dalam melakukan penindakan kepala desa, jadi kalau ada kades terbukti ambil duit, tapi nilainya tidak seberapa, kalau diproses ke pengadilan biaya lebih besar, akhirnya nggak efektif dan nggak efisien," ungkapnya saat itu.

Tidak efektifnya pemidanaan ini disebabkan karena proses peradilan yang dijalankan akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak daripada uang yang diselewengkan. Sehingga, Alexander menilai sebaiknya kepala desa itu dipecat dan diminta langsung mengembalikan uang yang mereka selewengkan lewat praktik lancung.

"Suruh (kades, red) kembalikan saja, kalau ada ketentuannya pecat kadesnya, selesai persoalan. Kalau tidak ada ketentuan, ya bagaimana dibuat aturan, mungkin dengan musyawarah desa (musdes) bersama masyarakat, kan mereka yang milih," tegasnya.

"Kita sepakat kalau menyangkut kerugian keuangan negara, keuangan daerah, dan kerugian desa bagaimana semaksimal mungkin uang bisa kembali ke kas desa, kas daerah, dan kas negara, itu saya kira lebih efektif dibanding dengan memenjarakan orang," imbuh Alexander.

Pernyataan ini pun mendapat reaksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana meminta Alexander segera membaca UU Tipikor secara utuh dan secara serius.

"Komisioner KPK tersebut harus benar-benar serius ketika membaca UU Tipikor," kata Kurnia kepada wartawan, Jumat, 3 Desember.

Pegiat antikorupsi ini mengatakan, pernyataan Alexander mengesankan dia tak paham dengan aturan perundangan yang berlaku. Penyebabnya, pada Pasal 4 UU Tipikor disebutkan pengembalian kerugian negara tidak bisa menghapus tindak pidana seseorang.

Selain itu, Kurnia bilang, praktik korupsi tidak bisa dinilai besar atau kecil dengan melihat jumlah uang yang diambilnya. Menurutnya, tindak rasuah meski nominalnya kecil bisa berdampak pada hajat hidup orang banyak.

"Jadi pendapat Marwata itu terlihat menyederhanakan permasalahan korupsi," tegasnya.

Lebih lanjut, Kurnia menilai Alexander bisa saja ingin ingin menerapkan restorative justice. Hanya saja, ia menganggap langkah tersebut kurang tepat dilakukan untuk kejahatan kompleks seperti korupsi.

"Terlebih lagi korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime," ungkap Kurnia.

Dia meminta Alexander hati-hati dalam menyampaikan pernyataan dimuka umum karena hal semacam ini bisa berdampak serius. Salah satunya, bukan tak mungkin nantinya kepala desa yang korup makin semangat melakukan praktik lancung karena mereka bisa terbebas dari jerat hukum seperti yang disampaikannya.

Selain itu, Kurnia bilang, Alexander harusnya sadar anggaran dana desa adalah salah satu sektor yang paling banyak terindikasi dikorupsi pada semester pertama 2021. Berdasarkan catatan ICW, setidaknya ada 55 kasus dengan total kerugian negara mencapai Rp35,7 miliar.

"Tidak hanya itu, Kepala Desa juga menempati peringkat ke tiga dari sisi latar belakang pelaku dengan jumlah 61 orang. Maka dari itu, korupsi yang dilakukan oleh kepala desa tidak bisa dianggap remeh seperti yang diutarakan oleh Komisioner KPK." pungkasnya.