Eks Jubir KPK Bingung dengan Pernyataan Wakil Ketua KPK Beri Gratifikasi ke Mertua Atau Pacar Bisa Dianggap Penyuapan
Gedung KPK (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah bingung dengan pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut pemberian untuk mertua maupun pacar pejabat sebagai bentuk gratifikasi dan berujung penyuapan jika tak dilaporkan.

Kebingungan ini muncul karena apa yang disampaikan Ghufron tidak sesuai dengan Pedoman Pengendalian Gratifikasi KPK. Hal ini dituliskannya lewat sebuah utas di akun Twitternya @febridiansyah.

"Agak bingung dg pernyataan Pimpinan KPK @Nurul_Ghufron ini ttg Gratifikasi," tulis Febri mengomentari pernyataan Ghufron, Rabu, 1 Desember.

Pegiat antikorupsi ini mengatakan pernyataan Ghufron tak sesuai karena pemberian hadiah dari keluarga sebenarnya tidak perlu dilaporkan. Namun, pemberian tersebut harus dipastikan tidak memiliki maksud atau berujung pada konflik kepentingan.

"Pedoman Pengendalian Gratifikasi yg diterbitkan KPK dsebutin gini: Salah satu gratifikasi yg tidak wajib dilaporkan: pemberian karena hubungan keluarga, yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/isteri,… sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan," ujarnya.

Sebelum menutup utasnya, Febri mengatakan peryataan Ghufron dianggap mengaburkan konsep pemberian gratifikasi. Tak hanya itu, dia berkelakar Wakil Ketua KPK itu tidak memperhatikan masyarakat yang tidak memiliki pasangan juga mertua.

"Ada banyak problem dlm pernyataan tsb. Salah1nya, apakah pernyataan tsb mempertimbangkan kalangan yg ga punya pacar (apalagi mertua)," ungkapnya.

"Lebih dr itu, semakin tdk jelas beda suap & gratifikasi di sana. Dan kian kabur konsep pemberian yg ada hubungan dg jabatan dlm gratifikasi," imbuh Febri.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan pemberian gratifikasi kepada keluarga termasuk mertua yang merupakan pejabat bisa berujung pada dugaan pemberian suap jika tak dilaporkan.

Apalagi, berdasarkan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 disebut penyelenggara negara dilarang menerima pemberian apapun.

"Bagi antar warga boleh saja, anda dengan pacar, anda dengan mertua itu enggak masalah hubungan antar. Tapi kalau kemudian ternyata pacar anda adalah bupati, mertua anda adalah dirjen, adalah menteri itu yang kemudian sudah diliputi aspek hukum gratifikasi," kata Ghufron dalam diskusi bertajuk Webinar Pengendalian Gratifikasi: Mencabut Akar Korupsi serta pemberian apresiasi kepada pelapor Gratifikasi 2021 yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Selasa, 30 November.

"Kemudian gratifikasi kepada penyelenggara negara ini dianggap sebagai suap jika tidak dilaporkan," imbuhnya.

Ghufron kemudian memaparkan gratikasi terhadap penyelenggara negara itu bisa dalam berbagai bentu seperti uang, barang, maupun jasa. Jika seorang pejabat kemudian menerima hal tersebut tapi tidak melaporkannya dalam waktu 30 hari kerja kepada KPK maka mereka bisa dijerat dengan pasal penerimaan suap.

Karenanya, Ghufron meminta para pejabat tanpa terkecuali untuk melaporkan gratifikasi yang diberikan kepada mereka. Menurutnya, penting pelaporan tersebut penting karena gratifikasi bisa menghambat objektivitas dan keadilan.

"Ini yang perlu kita hindari. Biasanya kalau seseorang ingin dicintai itu selalu memberi hadiah, membeli cokelat, memberi bunga anggrek, memberi bunga mawar sampai bunga deposito. Kalau sudah ada bunga deposito berubah itu, yang mestinya objektif, yang adil kemudian berubah menjadi terganggu," tegas Ghufron.

"Nah ini yang mengakibatkan kita perlu menghindarkan dalam aspek-aspek pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan itu kita larang untuk adanya gratifikasi karena akan meruntuhkan keadilan," pungkasnya.