Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan pemberian gratifikasi kepada keluarga termasuk mertua yang merupakan pejabat bisa berujung pada dugaan pemberian suap jika tak dilaporkan. 

Apalagi, berdasarkan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 disebut penyelenggara negara dilarang menerima pemberian apapun.

"Bagi antar warga boleh saja, anda dengan pacar, anda dengan mertua itu enggak masalah hubungan antar. Tapi kalau kemudian ternyata pacar anda adalah bupati, mertua anda adalah dirjen, adalah menteri itu yang kemudian sudah diliputi aspek hukum gratifikasi," kata Ghufron dalam diskusi bertajuk Webinar Pengendalian Gratifikasi: Mencabut Akar Korupsi serta pemberian apresiasi kepada pelapor Gratifikasi 2021 yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Selasa, 30 November.

"Kemudian gratifikasi kepada penyelenggara negara ini dianggap sebagai suap jika tidak dilaporkan," imbuhnya.

Ghufron kemudian memaparkan gratikasi terhadap penyelenggara negara itu bisa dalam berbagai bentu seperti uang, barang, maupun jasa. Jika seorang pejabat kemudian menerima hal tersebut tapi tidak melaporkannya dalam waktu 30 hari kerja kepada KPK maka mereka bisa dijerat dengan pasal penerimaan suap.

Karenanya, Ghufron meminta para pejabat tanpa terkecuali untuk melaporkan gratifikasi yang diberikan kepada mereka. Menurutnya, penting pelaporan tersebut penting karena gratifikasi bisa menghambat objektivitas dan keadilan.

"Ini yang perlu kita hindari. Biasanya kalau seseorang ingin dicintai itu selalu memberi hadiah, membeli cokelat, memberi bunga anggrek, memberi bunga mawar sampai bunga deposito. Kalau sudah ada bunga deposito berubah itu, yang mestinya objektif, yang adil kemudian berubah menjadi terganggu," tegas Ghufron.

"Nah ini yang mengakibatkan kita perlu menghindarkan dalam aspek-aspek pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan itu kita larang untuk adanya gratifikasi karena akan meruntuhkan keadilan," imbuh dia.

Ada pun terkait jumlah pelaporan gratifikasi ke KPK sejak Januari 2015 hingga September 2021 telah mencapai 7.709 di mana 6.310 di antaranya ditetapkan sebagai objek milik negara. 

"Sementara nilinya kalau diuangkan ada Rp171 miliar," ujarnya.

Meski angka itu sudah cukup tinggi tapi Ghufron mengatakan hal ini bukan berarti perilaku korup tidak lagi terjadi. Apalagi, banyak pejabat yang melaporkan gratifikasi dalam jumlah kecil namun yang besar tidak dilaporkan.

"Ini juga menjadi fenomena dan mudah-mudahan sekali lagi gratifikasi harus menjadi kesadaran bahwa setiap penyelenggara negara harus bebas menerima sesuatu dalam memberikan layanan publik," pungkasnya.