Siap Menengahi Konflik Rusia - Ukraina, Presiden Erdogan: Kami Berharap Wilayah Ini Tidak Didominasi Perang
Presiden Vladimir Putin bersama Presiden Recep Tayyip Erdogan. (Wikimedia Commons/Kremlin.ru/The Presidential Press and Information Office)

Bagikan:

JAKARTA - Turki dapat menengahi antara Ukraina dan Rusia di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan itu, kata Presiden Recep Tayyip Erdoğan.

"Kami berharap wilayah ini tidak menjadi wilayah yang didominasi oleh perang. Biarkan wilayah ini berjalan ke masa depan sebagai wilayah yang didominasi oleh perdamaian," sebut Presiden Erdogan, mengutip Daily Sabah 29 November.

"Kami berkeinginan agar sikap dalam hal ini berkembang ke arah yang positif. Mungkin ada mediasi tentang ini, kami akan membahas masalah ini dengan mereka, kami ingin berbagi solusi dengan mengembangkan pembicaraan ini baik dengan Ukraina dan dengan Presiden Putin," tambahnya sekembalinya dari Turkmenistan.

Intelijen militer Ukraina mengatakan pekan lalu, Rusia telah mengumpulkan lebih dari 92.000 tentara di sekitar perbatasan Ukraina dan sedang mempersiapkan serangan pada akhir Januari atau awal Februari.

Ukraina, yang ingin bergabung dengan aliansi militer NATO, menyalahkan Moskow karena mendukung separatis dalam konflik di timurnya sejak 2014.

Sementara, Rusia mengatakan pihaknya mencurigai Ukraina ingin merebut kembali wilayah yang dikuasai separatis dengan paksa. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan pada Hari Jumat, Kyiv tidak memiliki rencana seperti itu, menyebut retorika Rusia yang menentang tawaran Ukraina untuk bergabung dengan NATO mengkhawatirkan.

Pasukan Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina pada Februari 2014, dengan Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi membagi wilayah itu menjadi dua subjek federal terpisah dari Federasi Rusia pada bulan berikutnya.

Adapun Turki, anggota NATO, telah mengkritik pencaplokan Krimea oleh Moskow dan menyuarakan dukungan untuk integritas teritorial Ukraina. Amerika Serikat dan Majelis Umum PBB memandang pencaplokan itu juga ilegal.

Untuk diketahui, pertempuran antara pasukan pemerintah Ukraina dan separatis pro-Rusia di Donbass telah menewaskan lebih dari 13.000 orang sejak 2014, menurut PBB. Wilayah ini adalah salah satu dari beberapa sumber gesekan antara Rusia dan Ukraina.