JAKARTA - Para ilmuwan di Universitas Cambridge, Inggris meneliti wabah massal ulat pemakan daun dan menemukan, ualt-ulat tersebut memiliki efek berbahaya pada lingkungan.
Makhluk kecil itu dikenal 'lapar' (seperti yang dikatakan buku anak-anak populer) dan ternyata ini sangat akurat. Mereka bisa makan dalam jumlah besar selama tahap siklus hidup yang biasanya berlangsung beberapa minggu. Beberapa mampu mengkonsumsi 27.000 kali berat badan mereka selama hidup mereka.
Tapi masalahnya adalah, ulat memakan begitu banyak daun sehingga mereka mengurangi jumlah tanaman yang ada untuk menyerap CO2 dari atmosfer.
Dan itu belum semuanya. Selain kebiasaan mereka mengunyah daun, kotoran mereka mengeluarkan bakteri pelepas karbon dioksida begitu daunnya keluar dari ujung yang lain, jadi ini adalah pukulan ganda.
Banyak ulat hidup di tepi danau dan ketika kotoran mereka atau "frass" (istilah teknis untuk kotoran ulat) masuk ke dalam air, ia bertindak sebagai pupuk untuk mikroba tertentu yang melepaskan karbon dioksida ke udara.
"Serangga ini pada dasarnya adalah mesin kecil yang mengubah daun kaya karbon menjadi kotoran kaya nitrogen. Kotoran jatuh ke danau, bukan daun, dan ini secara signifikan mengubah kimia air," kata penulis senior makalah, Profesor Andrew Tanentzap, di Departemen Ilmu Tanaman Universitas Cambridge, mengutip Euronews 8 November.
"Kami pikir itu akan meningkatkan sejauh mana danau merupakan sumber gas rumah kaca," sambungnya.
Studi yang dipublikasikan di jurnal sains 'Nature' menemukan dalam beberapa tahun dengan wabah serangga, luas daun hutan berkurang rata-rata 22 persen. Pada saat yang sama, danau terdekat mengandung 112 persen lebih banyak nitrogen terlarut.
Untuk mendapatkan hasil mereka, para peneliti menggabungkan 32 tahun data pemerintah dari survei wabah serangga dan kimia air danau di 12 tangkapan danau di Ontario, Kanada.
BACA JUGA:
Ini diyakini sebagai studi paling ekstensif yang pernah dilakukan tentang bagaimana wabah serangga berdampak pada dinamika karbon dan nitrogen air tawar.
"Sungguh menakjubkan serangga ini dapat memiliki efek yang begitu nyata pada kualitas air," terang Sam Woodman, seorang peneliti di Departemen Ilmu Tanaman Universitas Cambridge dan penulis pertama laporan tersebut.
"Dari perspektif iklim, mereka sangat buruk, namun mereka benar-benar diabaikan dalam model iklim," pungkasnya.