Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menyebut lambatnya penyaluran bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah menjadi penyebab Presiden Joko Widodo kembali menyentil para menteri.

Syarief menyebut, pendistribusian BLT yang gerak di tempat mengakibatkan rendahnya realisasi anggaran pemerintah hingga lambatnya pembangkitan kondisi ekonomi yang dikeluhkan Jokowi.

"Lambatnya realisasi dan penyaluran bantuan sosial ke masyarakat menunjukkan kurangnya kecepatan dan ketepatan sasaran Pemerintah dalam menangani efek sosial ekonomi dari pandemi COVID-19," kata Syarief saat dikonfirmasi VOI, Senin, 3 Agustus.

Pemerintah telah mengalokasikan Rp203 triliun khusus untuk pos perlindungan sosial. Ada sejumlah program, yakni Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dana desa, Kartu Prakerja, hingga bantuan sosial.

Namun, sayangnya sampai akhir Juli, anggaran perlindungan sosial baru terrealisasi 34,04 persen. Padahal, menurut Syarief, bantuan seperti BLT sangat dibutuhkan untuk menaikkan daya beli masyarakat, sehingga roda perekonomian bisa kembali berjalan.

"Jika bantuan sosial lambat disalurkan, maka bisa dipastikan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sehari-hari akan semakin melemah," ucap Syarief.

"Akibatnya, tentu tak hanya terhadap dengan masyarakat kecil, tetapi juga mengganggu perekonomian Indonesia dikarenakan pergerakan uang dan barang menjadi semakin sedikit," tambahnya.

Syarief juga mengomentari sejumlah alasan lambatnya penyaluran bantuan sosial akibat data penerima yang tumpang tindih di tiap instansi pemerintah. Menurut dia, hal ini tidak bisa dijadikan alasan.

"Pemerintah telah dibekali berbagai sumber daya dan kelembagaan untuk memusatkan data sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Pemerintah harusnya menggunakan database satu pintu sehingga tidak terjadi overlapping di lapangan," tutur dia. 

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyentil jajarannya yang hingga kini belum menunjukkan kemampuan mereka bekerja di tengah suasana krisis akibat pandemi COVID-19. 

"Di kementerian, di lembaga, aura krisisnya betul-betul belum, ya, belum masih sekali lagi kejebak pada pekerjaan harian. Enggak tahu prioritas yang harus dikerjakan," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin, 3 Agustus. 

Jokowi juga kemudian menyinggung pada realisasi anggaran hingga urusan ekonomi yang terkait dengan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat masih sangat minim.

Jokowi bahkan menyebut total anggaran stimulus sebesar Rp695 triliun untuk penanganan COVID-19 baru 20 persen yang direalisasikan oleh kementerian dan lembaga. "Rp141 triliun yang terealisasi, sekali lagi, baru 20 persen masih kecil sekali," tegas dia.

"Penyerapan yang paling gede di perlindungan sosial 38 persen kemudian program UMKM 25 persen. Hati-hati ini, yang belum ada DIPA-nya saja gede sekali 40 persen, belum ada DIPA. DIPA saja belum ada gimana mau realisasi," imbuh dia.