Jarak Dua Sif Kerja Arahan Pemprov DKI Dinilai Terlalu Pendek
Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menilai, pengaturan sistem perkantoran dua sif yang ditentukan oleh Pemprov DKI terlalu pendek dan tidak efektif dalam mengurangi penularan COVID-19 di lingkungan kerja.

Adapun Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertransgi) DKI menganjurkan tiap perusahaan untuk membagi dua jam kerja karyawan, dari yang pertama pukul 07.00-16.00 WIB dan kedua pukul 09.00-18.00 WIB.

"Sif tersebut terlalu pendek dan itu yang menyebabkan para pelaju tetap berangkat kerja di jam yang sama dengan saat belum ada pembagian shift," ucap Teguh dalam keterangan tertulis, Senin, 3 Agustus.

Teguh menyebut, data dari PT Kereta Comuter Indonesia menyatakan ada kenaikan jumlah penumpang selalu terjadi di jam sibuk, yakni pukul 06.00–08.00 WIB dan pukul 16.00–19.00 WIB. 

Demikian juga Dirlantas Polda Metro Jaya menyebut angka kemacetan di ruas jalan kota dan tol juga terjadi di waktu yang sama.

Oleh sebab itu, Teguh menyebut Ombudsman Jakarta Raya akan meminta keterangan kepada Pemprov DKI terkait evaluasi pembagian jam kerja dan dampaknya terhadap lalu-lintas.

Teguh menyarankan Pemprov DKI memberi rentang waktu sif kerja yang lebih panjang dengan jumlah jam kerja yang lebih pendek. Misalnya, sif pertama dimulai pukul 07.00-14.00 WIB dan kedua pukul 11.00-18.00 WIB.

"Kekurangan jam kerja bisa di kompensasi ke hari kerja, menjadi 6 hari kerja agar jumlah jam kerja satu minggu tetap terpenuhi," tutur dia.

Beberapa waktu lalu, Anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah menyebut, klaster COVID-19 pada lingkup perkantoran di DKI Jakarta bertambah menjadi 90 klaster. Dari klaster ini, ada 459 pegawai yang terkonfirmasi kasus COVID-19.

"Kalau kita lihat, angkanya bertambah 10 kali lipat. Selama masa PSBB awal, di mana hampir semua pegawai bekerja di rumah memang hanya ada 43. Tapi, ternyata saat PSBB transisi ini bertambah 416 menjadi 459," ungkap Dewi.

Rinciannya, ada 20 klaster yang miliki 139 kasus di sejumlah kementerian, 10 klaster yang miliki 25 kasus di badan atau lembaga, 34 klaster yang miliki 141 kasus di  kantor di lingkungan Pemda DKI.

Selanjutnya, ada 1 klaster yang miliki 4 kasus di kantor kepolisian, 8 klaster yang milkiki 35 kasus di BUMN, dan 14 klaster yang miliki 92 kasus di kantor swasta.