Serangan Drone AS Tewaskan 10 Warga Sipil di Afghanistan, Pentagon: Tidak Ada Pelanggaran Hukum
Ilustrasi drone Amerika Serikat. (Wikimedia Commons/Staff Sgt. Christopher Matthews)

Bagikan:

JAKARTA - Serangan pesawat tak berawak (drone) Amerika Serikat yang menewaskan 10 warga sipil Afghanistan adalah kesalahan yang tidak melanggar hukum apa pun, kata seorang inspektur Pentagon setelah penyelidikan.

"Itu adalah kesalahan yang jujur," kata Inspektur Angkatan Udara AS Letnan Jenderal Sami Said kepada wartawan, mengutip BBC 4 November.

Serangan yang dilakukan pada 29 Agustus itu menewaskan tiga orang dewasa, termasuk seorang pria yang bekerja untuk kelompok bantuan AS, serta tujuh anak-anak.

Serangan itu terjadi ketika negara-negara Barat berusaha untuk mengevakuasi warga Afghanistan, setelah Taliban menguasai negara itu pada 15 Agustus lalu.

Anak termuda yang dibunuh adalah Sumaya yang berusia dua tahun, dan Farzad yang berusia 12 tahun, kata keluarga itu kepada BBC.

Berbicara tak lama kemudian Ramin Yousufi, seorang kerabat, mengatakan itu adalah "serangan brutal" berdasarkan "informasi yang salah".

"Mengapa mereka membunuh keluarga kami? Anak-anak kami? Mereka begitu terbakar sehingga kami tidak dapat mengidentifikasi tubuh mereka, wajah mereka," kritiknya.

Letnan Jenderal Said mengatakan telah terjadi "kesalahan eksekusi, dikombinasikan dengan bias konfirmasi dan gangguan komunikasi" yang menyebabkan "korban warga sipil yang disesalkan".

Namun dia mengatakan, penyelidikan tidak menemukan "tidak ada pelanggaran hukum, termasuk Hukum Perang".

"Ini bukan tindakan kriminal, tindakan acak, kelalaian," tambahnya.

Dia mengatakan, personel AS yang melakukan serangan pesawat tak berawak benar-benar percaya, mereka menargetkan "ancaman darurat" dari kelompok teroris ISIS kepada pasukan AS dan staf diplomatik di bandara Kabul.

Untuk diketahui, serangan itu terjadi beberapa hari setelah ISIS-K, cabang kelompok itu di Afghanistan, mengatakan mereka berada di balik serangan bom dahsyat di luar bandara Kabul, tempat ribuan warga Afghanistan berkumpul untuk mencoba melarikan diri dari negara itu, menewaskan sedikitnya 170 orang termasuk 13 personel militer AS.

Militer Amerika Serikat mengatakan memiliki laporan intelijen, ISIS sedang merencanakan serangan kedua terhadap operasi evakuasi.

"Yang mungkin rusak bukanlah intelijen, tetapi korelasi intelijen itu dengan rumah tertentu," terang Letnan Jenderal Said.

Laporan intelijen telah melibatkan mobil Toyota Corolla putih yang diduga mengandung bahan peledak. Tetapi, Letnan Jenderal Said mengatakan AS kemudian melacak mobil yang salah.

"Kami hanya tidak mengambil Toyota Corolla yang kami yakini seharusnya kami ambil," tandas Said.

Mereka yang terlibat dalam serangan drone AS percaya rumah itu kosong, gagal melihat seorang anak memasuki area target dua menit sebelum roket ditembakkan.

Militer AS juga percaya, pengebom bandara sebelumnya telah membawa bahan peledak di dalam tas komputer, jadi ketika operator yang merencanakan serangan melihat orang-orang yang mereka awasi memegang tas komputer, mereka yakin mereka memiliki target yang tepat, sebuah contoh 'bias konfirmasi'.

"Ternyata, dan kami tegaskan, itu adalah tas komputer" dan bukan bahan peledak, tukas Letnan Jenderal Said.

Setelah penyelidikan awal, Pentagon mengakui pada Bulan September bahwa serangan drone itu merupakan kesalahan tragis, akan memberikan kompensasi kepada anggota keluarga yang selamat.