JAKARTA - Pemerintah secara resmi menghapus kewajiban syarat tes PCR untuk pelaku perjalanan penerbangan atau transportasi udara. Penghapusan ini lantas mendapat apresiasi dan dianggap sebagai langkah yang tepat.
Melalui konferensi pers secara daring, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan syarat menunjukkan hasil PCR bagi penumpang pesawat terbang tak lagi berlaku. Dengan demikian, pengguna moda transportasi udara di tengah pandemi COVID-19 cukup menunjukkan hasil rapid test antigen.
"Untuk perjalanan akan ada perubahan, yaitu untuk wilayah Jawa dan Bali, perjalanan udara tidak lagi mengharuskan menggunakan tes PCR, tetapi cukup menggunakan tes antigen. Sama dengan yang sudah diberlakukan untuk wilayah luar Jawa, non Bali," kata Muhadjir.
Hanya saja, dia belum menjelaskan kapan aturan penggunaan
BACA JUGA:
hasil rapid test antigen ini akan berlaku kembali dan perubahan aturan lainnya.
Keputusan pemerintah ini kemudian dipuji oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman. Ia mengatakan, langkah tersebut sudah tepat sehingga dapat menjadi kabar baik terutama bagi masyarakat yang kerap menumpang pesawat terbang.
"Selain menjadi kabar baik, artinya sudah tepat karena sesuai dengan strategi kesehatan masyarakat," katanya saat dihubungi VOI, Selasa, 2 November.
Ia mengatakan penggunaan hasil rapid test antigen sebagai dokumen kesehatan bagi pelaku perjalanan dirasa sudah cukup. Apalagi, kata Dicky, metode tes cepat ini lebih murah dibandingkan dengan tes PCR yang harganya mahal dan kerap kesulitan diakses masyarakat.
Selain itu, dirinya juga menyebut pesawat terbang sebenarnya menjadi salah satu moda transportasi yang paling aman untuk ditumpangi di tengah pandemi. "Dari sisi teknologi, ventilasi, sirkulasinya ini menempati urutan tertinggi, hirarki tertinggi dengan penggunaan HEPA Filter yang bisa menonaktifkan virus, bakteri, dan jamur," ungkap Dicky.
Tak hanya itu, dia juga mengungkapkan kemungkinan seseorang terpapar COVID-19 ini cukup kecil. Sebelum masifnya pemberian vaksin COVID-19, berdasarkan data IATA, kasus infeksi virus hanya terjadi pada 1 dari 27 juta orang penumpang pesawat.
Angka tersebut, kata Dicky, bisa saja makin turun karena masyarakat kini wajib menerima vaksin COVID-19 sebelum menumpang pesawat terbang dan wajib menggunakan masker. Dengan seluruh paparan ini dia menilai tes PCR bagi pelaku perjalanan dengan moda transportasi udara tidak diperlukan.
"Bahkan ketika cakupan vaksinasi sudah 80 persen enggak perlu ada tes. Pergi-pergi saja dalam negeri seperti di Australia. Kecuali kalau mau berkunjng ke luar negeri karena beragam dan tiap negara punya standar keamanan sendiri mencegah virus tapi kalau dalam negeri harusnya tidak masalah," jelasnya.
Alih-alih pesawat, harusnya pemerintah lebih khawatir dengan kemungkinan penularan virus yang terjadi dalam angkutan umum seperti bus antar kota yang banyak digunakan masyarakat. "Itu rawan sebetulnya karena masalah ventilasi dan penyebaran klaster banyak di situ sehingga harusnya ini yang diwaspadai dan diperketat," tegas Dicky.
Sementara moda transportasi darat seperti mobil pribadi maupun sepeda motor masih masuk dalam kategori aman. "Apalagi motor kan angin di sana-sini," ungkapnya.
Sehingga jika pemerintah mau melakukan pengetatan dengan menerbitkan aturan pengecekan bagi pelaku perjalanan lebih dari empat jam dia sepakat. Hanya saja, dia meminta tes yang dilakukan cukup antigen saja karena lebih terjangkau oleh masyarakat.
Tak hanya itu, dia juga mengingatkan pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan bagi pelaku perjalanan darat terutama yang menggunakan bus kota. "Harus ada kepatuhan bahwa dia harus sudah divaksin, kepatuhan menjalankan protokol kesehatan, jaga jarak, dan lain-lain," pungkasnya.