Bagikan:

JAKARTA - Industri asuransi nasional saat ini sedang mengalami krisis. Tak hanya karena dihantam oleh perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19, namun juga karena menurunnya kepercayaan konsumen akibat kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.

Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto mengatakan, sebelum adanya pandemi COVID-19, industri asuransi jiwa nasional sebenarnya sudah dua tahun terakhir mengalami masa-masa berat.

Menurut Eko, saat ini sebagian perusahaan asuransi fokus memasarkan produk-produk berbalut investasi seperti unit link. Tetapi, karena terlalu dipenuhi oleh produk-produk berbasis investasi bergaransi, perusahaan asuransi jiwa menjadi cepat masuk ke saham dan reksa dana.

Lebih lanjut, Eko mengatakan, akibatnya jika pasar saham anjlok, banyak perusahaan asuransi yang akhirnya bermasalah. Ditambah lagi, ada problem lain, yakni tidak sedikit terjadi pelanggaran good corporate governance (GCG).

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 perolehan premi bruto industri asuransi jiwa yang dihuni oleh 61 perusahaan, tumbuh negatif 0,38 persen atau menjadi Rp185,33 triliun.

"Pertumbuhan tersebut melanjutkan tren penurunan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Pada 2018 premi industri asuransi jiwa tumbuh 1,20 persen, anjlok sangat dalam dari capaian tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 16,23 persen," katanya, dalam diskusi virtual, Kamis, 30 Juli.

Sementara itu, kata Eko, perolehan laba per Mei 2020 cukup membaik, naik 128,26 persen menjadi Rp1,21 triliun dari total 54 perusahaan asuransi jiwa. Namun, ini dibarengi indikator keuangan lainnya semakin menurun.

"Per Mei 2020, pendapatan premi bruto mengalami minus 12,54 persen menjadi Rp64,01 triliun. Investasi minus 8,12 persen menjadi Rp426,24 triliun, dan aset minus 5,52 persen menjadi Rp531,14 triliun," ucapnya.

Digitalisasi Jadi Peluang Kembangkan Bisnis

Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Moch Ihsanudin mengatakan, industri asuransi nasional diharapkan bisa memanfaatkan peluang digitalisasi di tengah pandemi COVID-19. Hal ini lantaran semakin banyak masyarakat yang melek teknologi.

Ihsanudin menjelaskan, sebagian besar dari 270 juta jiwa masyarakat Indonesia sudah aktif menggunakan telepon seluler. Bahkan, pengguna telepon seluler di Indonesia mencapai 338 juta nomor aktif.

Menurut Ihsanudin, industri asuransi bisa menjadikan fenomena ini sebagai sebuah peluang untuk makin mengembangkan bisnis ke arah digital atau insurance technology (insurtech).

"Menurut kami, peluangnya cukup besar di mana identitas dan penetrasi digital bisa kita gunakan. Maka ketika sedang terkena dampak COVID (saat ini) kita tiarap tapi sambil menata kembali, begitu ekonomi membaik diharapkan (industri asuransi) bisa rebound," tuturnya.