KPK: Gratifikasi Tumbuhkan Mental Pengemis
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai gratifikasi yang kerap diberikan kepada pejabat atau penyelenggara negara dapat menimbulkan mental pengemis. Tak hanya itu, penerimaan ini dianggap akan menimbulkan rasa utang budi yang membuat seseorang dapat jatuh ke dalam jerat tindak pidana korupsi.

Hal ini disampaikan oleh Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Terbiasa menerima gratifikasi yang terkait dengan jabatan akan menumbuhkan mental pengemis karena biasa meminta. Selain itu, (membuat, red) selalu merasa berutang budi," kata Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK Sugiarto dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Selasa, 2 November.

Utang budi ini, dia bilang, bisa membuat orang jadi jatuh ke dalam perbuatan lancung karena mereka merasa sungkan saat pihak pemberi meminta usaha mereka dipermudah. "Sehingga akhirnya berpotensi terjebak dalam suap menyuap dan tahap selanjutnya penerima gratifikasi akan memperkaya diri sendiri maupun orang lain atau korporasi," tegas Sugiarto.

"Oleh karena itu, waspadalah terhadap bahaya gratifikasi. Kenapa? Karena gratifikasi adalah akar korupsi, menyebabkan konflik kepentingan dan kecurangan," imbuhnya.

Dia juga menganggap gratifikasi ini sebagai pandemi di mana integritas adalah vaksinnya. Sehingga, Sugiarto berharap semua pejabat publik dapat menjaga kejujuran diri mereka dengan menjauhi penerimaan apapun dari pihak lain.

"Ibarat Pandemi, integritas diharapkan menjadi vaksin antikorupsi. Mari cegah korupsi dari rumah tangga kita sendiri," ungkapnya.

Lebih lanjut, Sugiarto memaparkan pengertian gratifikasi ilegal. Sesuai Pasal 12B Ayat 1, gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Tapi, dia juga menyebut ada sejumlah karakteristik gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Pertama, kata Sugiarto, pemberian yang berlaku umum baik jenis, syarat, nilai dan memiliki prinsip kewajaran ataau kepatutan.

Kedua, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, masuk dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat. Terakhir, dipandang sebagai wujud ekspresi atau keramah-tamahan.

"Intinya, salah satu wujud dari integritas seseorang adalah mereka berhati-hati terhadap pemberian hadiah. Apalagi, kalau hadiah tersebut diyakini berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban itu dilarang," ungkapnya.

"Silakan ditolak dan dilaporkan penolakannya. Jika terpaksa diterima juga silakan dilaporkan. Kenapa? Karena gratifikasi beda tipis dengan suap," pungkas Sugiarto.