Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah menurunkan tarif tes PCR sebesar Rp275 ribu untuk kawasan Pulau Jawa-Bali dan sebesar Rp 300 ribu untuk luar Jawa-Bali. Selang beberapa hari kemudian, pemerintah justru menghapus tes PCR sebagai syarat perjalanan.  

Anehnya, saat awal pandemi setiap orang yang akan melakukan tes PCR harus mengeluarkan uang mulai Rp900 ribu hingga Rp2,5 juta. 

Persoalan harga tes PCR ini kemudian dinilai tak transparan. Aparat penegak hukum dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diminta turun tangan menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan perusahaan pemasok tes PCR selama pandemi COVID-19. 

 

Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono, menilai apa yang dilakukan perusahaan tersebut adalah kejahatan serius. Sebab dia menduga mengambil keuntungan hingga 600 persen.

"Perusahaan dan pemilik usaha pemasok PCR yang mengambil keuntungan hingga 600 persen dari modalnya merupakan pelaku kejahatan yang sangat serius saat ini," ujar Arief dalam keterangannya, Selasa, 2 November. 

 

Menurutnya, penegak hukum dan KPPU harus turun tangan lantaran perusahaan pemasok alat tes PCR tega meraup untung di tengah bangsa yang sedang menghadapi darurat pandemi.

Bahkan, Arief meminta Presiden Joko Widodo tegas memerintahkan penegak hukum untuk menangkap semua pelaku usaha PCR. Dia menegaskan, bahwa para pelaku sudah tidak memiliki moral.

"Jika tidak ada tindakan hukum kepada mereka ini bisa jadi preseden buruk bagi karir Jokowi sebagai presiden yang membiarkan para pelaku kejahatan serius disaat masyarakat butuh akan akan keselamatan dari pandemi COVID-19," tegas Arief.

Arief menuturkan, KPPU sebagai lembaga yang punya tugas mengawasi persaingan usaha dan monopoli harus segera mengambil tindakan. Dengan demikian, kata dia, masyarakat bisa mengetahui secara terang-benderang bahwa ada tindakan kejahatan yang dilakukan perusahaan penyedia jasa PCR.

"Untuk membuktikan kejahatan ekonomi yang dilakukan perusahaan dan pemilik usaha jasa PCR," pungkasnya.