Labilnya Pemerintah dalam Aturan Perjalanan Hingga Menko Luhut Kena Tuding Bisnis PCR
Ilustrasi - tes PCR (Azmi/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pandangan negatif kini tertuju pada pemerintah, lantaran tiba-tiba berubah dalam menerapkan syarat perjalanan bagi masyarakat. Baru beberapa hari harga tes PCR diturunkan menjadi Rp275 ribu, pemerintah kini justru menghapus syarat wajib menunjukkan hasil tes PCR bagi penumpang penerbangan dengan cukup tes antigen. 

Sekretaris fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi, menyebutkan bahwa saat ini muncul kecurigaan di tengah masyarakat jika tes PCR menjadi ladang bisnis bagi pelaku bisnis kesehatan dan Pemerintah.

“Ada kesan pemerintah lebih membela kepentingan pelaku bisnis kesehatan dalam hal ini PCR," ujar Awiek kepada wartawan, Senin, 1 November.

 

Dia mengingatkan, labilnya pemerintah dalam menentukan kebijakan jangan sampai memunculkan pandangan miring karena adanya suatu bisnis alkes. 

 

"Jangan sampai ada kecurigaan publik bahwa alat PCR terlanjur diimpor sehingga harus didukung oleh kebijakan yang tarik ulur,” sambungnya. 

 

Munculnya kecurigaan masyarakat soal bisnis PCR oleh pemerintah ternyata diungkap Mantan Direktur YLBHI Agustinus Edy Kristianto. Dia mengatakan sejumlah menteri-menteri lain juga terkait dengan bisnis tes PCR.

Agustinus mengungkapkan hal itu lewat tulisannya di akun Facebook pribadinya. Dia mengawali tulisannya dengan mengutip laporan media soal laboratorium PCR yang dimiliki politikus dan konglomerat.

Agustinus mengungkap komposisi pemegang saham PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang memiliki afiliasi dengan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Yaitu PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtera.

 

 

Dia mengatakan, Luhut punya sedikit saham di dua perusahaan tersebut dan Luhut juga merupakan pendirinya.

"Menteri itu ternyata terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia. Unit usaha PT itu adalah GSI Lab yang jualan segala jenis tes COVID-19: PCR Swab Sameday (275 ribu), Swab Antigen (95 ribu), PCR Kumur (495 ribu), S-RBD Quantitative Antibody (249 ribu)," tulis Agustinus

Adapun pemegang saham yang disebutkan Agustinus adalah Yayasan Indika Untuk Indonesia, Yayasan Adaro Bangun Negeri, Yayasan Northstar Bhakti Persada, PT Anarya Kreasi Nusantara, PT Modal Ventura YCAB, PT Perdana Multi Kasih, PT Toba Bumi Energi, PT Toba Sejahtra, dan PT Kartika Bina Medikatama.

Apa Kata Luhut soal Adanya Tudingan 'Bisnis PCR'? 

Pihak Luhut langsung membantah tudingan 'bermain' di balik bisnis PCR selama pandemi COVID-19.

 

Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi mengatakan, Menko Luhut memang mendapatkan ajakan oleh beberapa kelompok pengusaha membentuk GSI. Namun dia menegaskan hal itu dilakukan bukan untuk berbisnis, apalagi cari untung. 

 

Jodi menjelaskan perusahaan dibentuk dalam rangka inisiatif membantu penyediaan tes COVID-19. Dia mengatakan GSI terbentuk di awal pandemi saat penyediaan tes COVID-19 jadi kendala besar di Indonesia.

"Terkait GSI, Jadi pada waktu itu, Pak Luhut diajak oleh teman-teman dari Grup Indika, Adaro, Northstar, yang memiliki inisiatif untuk membantu menyediakan test COVID-19 dengan kapasitas test yang besar. Karena hal ini dulu menjadi kendala pada masa-masa awal pandemi ini adalah salah satu kendala," ujar Jodi, Senin, 1 November. 

Jodi menjelaskan ada sembilan pemegang saham di dalam GSI. Kelompok usaha Indika dan Adaro adalah pemegang saham mayoritas di GSI. Luhut punya kaitan di GSI karena perusahaannya Toba Bara Sejahtera ikut memiliki saham di perusahaan tes COVID-19.

Sampai saat ini, kata Jodi, tidak pernah sekalipun ada bagi-bagi keuntungan dalam bentuk dividen dari GSI. Baik untuk Luhut maupun pemegang saham lainnya.

Justru, menurutnya keuntungan GSI malah banyak digunakan untuk memberikan tes gratis kepada masyarakat yang kurang mampu dan petugas kesehatan di garda terdepan. Sudah lebih dari sekitar 60.000 tes yang sudah dilakukan untuk kepentingan membantu masyarakat, termasuk juga membantu di wisma atlet.

"Sampai saat ini, tidak ada pembagian keuntungan dalam bentuk dividen atau bentuk lain kepada pemegang saham," tegas Jodi.

Jodi kembali menegaskan tidak ada sama sekali upaya cari untung dari GSI. Menurutnya yang dilakukan GSI adalah kewirausahaan sosial. Apalagi, semua kelompok usaha yang membesut GSI dinilai sudah mapan dan memiliki bisnis yang lebih menguntungkan dibandingkan berdagang tes COVID-19.

Bahkan gedung kantor GSI saja, kata Jodi, diberikan secara gratis oleh salah satu pemegang sahamnya. Itu dilakukan agar GSI bisa cepat beroperasi pada periode awal dan membantu untuk melakukan testing COVID-19.

"Jadi GSI ini tujuannya bukan untuk mencari profit bagi para pemegang saham. Sesuai namanya GSI ini Genomik Solidaritas Indonesia, memang ini adalah kewirausahaan sosial," kata Jodi.

Jodi menyatakan, Luhut selama ini terus menerus menyuarakan agar harga tes PCR diturunkan dan bisa dijangkau masyarakat. Karena itu menurutnya, tidak mungkin Luhut mau cari-cari bisnis dari alat tes COVID-19.

"Jadi tidak ada maksud bisnis dalam partisipasi Toba Sejahtra di GSI, apalagi Pak Luhut sendiri selama ini juga selalu menyuarakan agar harga test PCR ini bisa terus diturunkan sehingga menjadi semakin terjangkau buat masyarakat," ungkap Luhut.

Jodi pun menyayangkan adanya isu soal bisnis alat tes COVID-19. Khawatirnya, tak akan ada pihak yang mau mengulurkan bantuan bila tiba-tiba terjadi krisis karena disebut cari untung dari COVID-19.

"Sangat disayangkan upaya framing seperti ini. Ini berpotensi menyebabkan para pihak yang ingin membantu jika terjadi krisis berpikir dua kali," kata Jodi.