Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kembali menurunkan harga tes PCR untuk meringankan beban masyarakat yang hendak bepergian dan menghidupkan sektor perekonomian. Sebelumnya, tarif tes PCR yang dipatok sekitar Rp495-550 ribu, kini ditetapkan menjadi Rp275 ribu di Pulau Jawa dan Bali serta Rp300 ribu di luar Jawa-Bali.

Namun, harga tersebut dinilai masih memberatkan masyarakat yang akan melakukan perjalanan.

"Harga itu masih tinggi dan memberatkan. Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga dibawah Rp100 ribu, kenapa kita tidak bisa?," ujar Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, Sabtu, 30 Oktober.

Terlebih, kata dia, ada wacana PCR akan diwajibkan untuk seluruh moda transportasi.

“Kalau kebijakan ini diterapkan, maka tes COVID-19 lainnya, seperti, swab antigen tidak berlaku. Artinya semua penumpang transportasi non-udara yang notabene-nya dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat,” kata Netty.

Lantas, mengapa tidak menggunakan alat pendeteksi virus corona bernama GeNose? Alat ini yang dibuat oleh para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu jauh lebih murah dan pernah digunakan sebagai syarat perjalanan kereta api.

Seperti yang diketahui, sejak 1 April 2021, GeNoSe bisa menjadi syarat perjalanan di semua moda transportasi, selain antigen dan PCR. Penggunaan GeNose berdasarkan Surat Edaran (SE) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

"Kalau soal GeNose, memang tidak disarankan karena GeNose memiliki kelemahan. Diantaranya kelemahan dalam mendeteksi virus corona," jelas Netty kepada VOI, Sabtu, 30 Oktober.

Legislator Jawa Barat itu mengatakan, pemeriksaan menggunakan GeNose pada seorang perokok atau seorang yang mengkonsumsi makanan berbau menyengat dapat mengurangi efektivitas GeNose.

"Jadi memang masih diperlukan pengembangan dari GeNose sebagai salah satu metode skrining," tukasnya.

Alasan pemakaian GeNose dihapus

Pemakaian GeNose sebagai salah satu syarat perjalanan diusulkan untuk dihapus oleh sejumlah pihak. Salah satunya, dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

YLKI menyebut ada beberapa alasan GeNose tidak direkomendasikan digunakan sebagai syarat perjalanan.

Pertama, masalah akurasi. Kedua, demi keselamatan. Ketiga, disebut tak deteksi virus.

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, GeNose memiliki akurasi yang rendah. Menurutnya, rendahnya akurasi hasil tes GeNose ini mengkhawatirkan karena bisa menghasilkan hasil negatif yang 'palsu'.

"Banyak kasus, akurasinya mengindikasikan rendah. Dikhawatirkan menghasilkan 'negatif palsu'," kata Tulus dalam keterangannya, Rabu, 23 Januari.

Tulus mengatakan, faktor harga seharusnya bukan pertimbangan utama. Sebab, hal ini terkait dengan keselamatan dan keamanan seseorang.

"Sebaiknya pilih antigen (minimal), demi keamanan dan keselamatan bersama, dan demi terkendalinya wabah COVID," katanya.

Tunggu hasil validasi eksternal

Senada dengan YLKI, Ahli biologi molekuler Ahmad Utomo juga menyarankan agar pemerintah kembali mengacu pada penggunaan alat tes deteksi Corona yang sudah baku dan diakui secara internasional.

"Kembalikan ke tes standar baku, kecuali sudah ada bukti validasi GeNose. Tes GeNose adalah untuk screening bukan untuk diagnosis. Jika dipakai sebagai syarat verifikasi perjalanan maka penggunaan GeNose tidak sesuai fungsinya," kata Ahmad.

Ia mengatakan, hingga kini penggunaan GeNose memang belum didukung oleh bukti validasi eksternal sebagai uji keterpaparan COVID-19.

Ia menyoroti cara kerja GeNose. GeNose kata dia, sama sekali tidak mendeteksi komponen virus yang ada di dalam tubuh pasien yang diperiksa layaknya seperti yang dilakukan pada pemeriksaan penggunaan alat tes Swab Antigen atau PCR.

GeNose hanya mendeteksi beberapa jenis gas yang terkandung dalam uap napas yang diembuskan pasien. Dari sana, alat yang terhubung dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) pada perangkat lunak GeNose akan mendeteksi ada tidaknya kandungan gas yang umumnya dikeluarkan oleh pasien yang sudah terkonfirmasi COVID-19.

"Jadi dia nggak mendeteksi virusnya, tapi dia mendeteksi gasnya," jelas Ahmad

Sebagai gantinya, Utomo menyebut screening perjalanan bisa menggunakan alat baku yang telah disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tes PCR dan antigen.

Ia menegaskan, rekomendasi penghentian GeNoSe itu didasarkan atas hasil validasi eksternal yang belum keluar, bukan karena akurasi.

"Karena harus diakui, apa pun tesnya, bahkan PCR pun bisa meleset, karena banyak faktor juga," tandas Ahmad Utomo.