Dampak COVID-19, Hotel di Bali Berhentikan Pekerja Harian
Ketua Umum Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis 12 Maret. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Virus corona atau COVID-19 yang tengah merebak di sejumlah negara di dunia termasuk Indonesia tentu berpengaruh di berbagai sektor industri, salah satunya sektor pariwisata. Dampak ini juga dirasakan oleh berbagai wilayah dengan destinasi wisata yang banyak diminati wisatawan baik mancanegara maupun domestik, saah satunya Bali.

Sektor pariwisata merupakan sektor yang kinerjanya sangat bergantung pada stabilitas sosial-politik, keamanan, dan lingkungan. Apabila salah satu faktor stabilitas terganggu, maka kinerja pariwisata akan turut mengalami gangguan sehingga sulit untuk menggenjot industri pariwisata.

Bedasarkan data PHRI. saat ini di Bali rata-rata okupansi hotel hanya 20 persen, khususnya di daerah-daerah yang banyak dikunjungi oleh individual traveler seperti Kuta, Sanur, Legian, Ubud, Jimbaran. Kondisi ini juga berdampak para pekerja, bahkan sebagian hotel memilih untuk tidak memperkerjakan pegawai lepas.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani membantah bahwa akibat sepinya kunjungan wisatawan, sebagian hotel melakukan pemberhentian hak kerja (PHK). Meski begitu, dia membenarkan, bahwa ada pengurangan pekerja di beberapa hotel.

"Sebetulnya kalau di hotel, bukan murni PHK. Ada tiga jenis karyawan di hotel yakni harian, kontrak dan tetap. Nah yang sekarang terjadi, daily worker tidak dipakai. Karena perusahaan jaga cash flow," tuturnya, dalam konferensi pers, di bilangan Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Maret.

Saat ini, kata Haryadi, pekerja yang masih dipertahankan sebagian hotel di Bali adalah karyawan kontrak dan tetap. Namun, jam kerja mereka pun harus mengalami perubahan akibat dari sepinya kunjungan wisatawan.

"Sekarang perusahaan (sedang) mencoba jaga di angka menurunkan 50 persen untuk operasional biaya tenaga kerja. Namun itu biayanya juga tetap besar, kami minta OJK merelaksasi pinjaman untuk membiayai operasional pokok dan bunga pinjaman," katanya.

Tidak jauh berbada dengan bisnis perhotelan, bisnis restoran juga harus melakukan efisiensi agar tetap bertahan di tengah wabah COVID-19 ini. Namun, karena jumlah pekerjanya lebih banyak yang kontrak, maka tidak sulit untuk melakukan penyesuaian.

"Restoran sama saja. Lebih banyak memang karyawan kontrak. Relatif sedikit, lebih less complicated, tidak terlalu rumit ketimbang hotel. Lebih bisa beradaptasi terkait penyesuaian jumlah karyawan," jelasnya.