100 Ribu COVID-19: Pemerintah Bisa Salahkan Masyarakat, Masyarakat Boleh Salahkan Siapa?
JAKARTA - Senin, 27 Juli, kasus COVID-19 di Indonesia menembus angka 100 ribu. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo menyebut ketidakdisiplinan masyarakat sebagai penyebab. Di sisi lain, berbagai kebijakan pemerintah jadi sorotan. Jika pemerintah bisa salahkan masyarakat, masyarakat boleh salahkan siapa?
"Dalam beberapa minggu terakhir, angka kasus positif rata-rata seribu per hari. Bahkan bisa lebih dari dua ribu kasus. Inilah pentingnya kita semua mengingatkan kalau kita tidak cukup disiplin sendiri. Tanggung jawab kita ajak yang lain disiplin," kata Doni Monardo, usai Rapat Terbatas, Senin, 27 Juli.
Dari tiga aturan dalam protokol kesehatan COVID-19 --masker, cuci tangan, dan jaga jarak, Doni menyebut poin terakhir sebagai upaya yang paling sulit dilakukan. “Yang paling sulit, jaga jarak. Kalau bisa mengontrol diri menjaga jarak, satu sama lain jaga jarak dan tidak mendekati ke tempat kerumunan, maka proses penularan bisa dikurangi dan dicegah,” katanya.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Tantan Hermansyah menyoroti pernyataan Doni. Kali ini pemerintah tak bisa lagi asal lempar kesalahan ke masyarakat. Masalahnya jelas tak hanya kedisiplinan. Ada kebijakan-kebijakan yang membuka peluang terjadinya interaksi, bahkan kumpul-kumpul orang.
"Ambiguitas seperti ini menyebabkan beberapa orang mengikuti. Dan seperti hukum masyarakat, pengikut selalu lebih banyak daripada pelaku. Gelembungan ini makin memuncak ketika tersebar dalam berbagai platform media," kata Tantan, dihubungi VOI, Selasa, 28 Juli.
Penentuan dasar kebijakan
Setidaknya ada empat kebijakan pemicu interaksi yang patut dikritisi, mulai dari pembukaan mal, pariwisata, pengembalian aktivitas bekerja di kantor-kantor, hingga pengoperasian transportasi umum. Tentu banyak pertimbangan di baliknya, baik ekonomi, sosial, ataupun politik.
Namun, ada satu akar yang menyebabkan segala masalah makin buram dalam penanganan COVID-19 di Indonesia: pengambilan kebijakan yang tidak didasari landasan ilmiah. Implikasinya sederhana. Kajian ilmiah dapat jadi panduan bagi pemerintah menetapkan turunan-turunan kebijakan, termasuk berbagai protokol yang lebih tepat dan terukur.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap kali menolak ketika disebut kebijakan pemerintah tak dibuat berdasar kajian ilmiah. Namun, sulit meyakininya. Tak perlu jauh. Soal memprediksi puncak COVID-19 saja pemerintah menunjukkan kontradiksi.
Doni Monardo mengatakan tak mungkin bagi Indonesia memprediksi puncak COVID-19 saat ini. Berbeda, Jokowi justru menyatakan puncak COVID-19 akan berada di bulan Agustus hingga September. "Kalau melihat angka-angka, memang nanti perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September. Perkiraan terakhir," kata Jokowi, ditulis Kompas.com.
Pertanyaannya sekarang adalah angka apa yang dimaksud Jokowi. Segala klaim akan meragukan mengingat sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan, pemerintah Indonesia tak pernah menampilkan kurva epidemiologi yang sesuai dengan standar keilmuan. Padahal, kurva epidemiologi adalah instrumen penting jika pemerintah membutuhkan acuan ilmiah dalam pengambilan kebijakan.
"Itu adalah tools yang harus ada untuk membantu pengambil kebijakan dalam menilai, mengevaluasi, merencanakan, intervensinya. Ini kan semua perubahan intervensi program harus berdasar bukti ilmiah. Bukan direka-reka. Nah salah satu tools-nya itu ya kurva itu (epidemi) yang membantu sekali," kata epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman kepada VOI.
Sebagaimana pernah kami bahas dalam "Nyatanya Kita Tak Bisa Sepenuhnya Salahkan Kerumunan MCD Sarinah", kurva epidemiologi adalah alat visualisasi standar yang paling banyak digunakan otoritas di berbagai negara untuk menggambarkan laju pertumbuhan ataupun perlambatan penyebaran virus. Lewat kurva ini, otoritas dapat melihat perjalanan pandemi, menentukan sumber, hingga mengetahui kapan penularan terjadi.
Selain itu, kurva digunakan untuk menentukan puncak pandemi atau memperkirakan akhir pandemi. Karenanya, kurva epidemiologi berimplikasi langsung pada keputusan-keputusan yang diambil, termasuk mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian wabah. Tanpa kurva epidemiologi, segala klaim tentang akurasi kebijakan jadi mustahil.
Ada penjelasan sederhana bagaimana kurva epidemiologi bekerja. Dikutip Theconversation.com, kurva bekerja dengan dua indikator: sumbu Y (vertikal) dan sumbu X (horizontal). Sumbu Y menunjukkan jumlah kasus baru. Sementara, sumbu X merupakan indikator yang jadi patokan waktu analisis terkait jumlah kasus baru. Misalnya, tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, atau tanggal orang diperiksa.
Jika seratus persen orang terinfeksi di satu hari dan semuanya diperiksa, lalu hasil pemeriksaan diketahui di hari yang sama, maka jumlah kasus pada hari itu dibandingkan dengan hari sebelumnya. Perbandingan itu yang nantinya jadi penggambaran laju infeksi harian yang sesungguhnya.
Namun, yang terjadi selama ini pemerintah hanya menampilkan kurva harian kasus. Sumbu Y kurva versi pemerintah menjelaskan jumlah kasus terkonfirmasi. Sementara, sumbu X mencantumkan tanggal pelaporan ke publik. Hal ini berbeda dengan pola penghitungan yang ideal. Kasus konfirmasi tambahan berbeda dengan jumlah kasus baru. Dengan kata lain, kurva pemerintah bukanlah kurva epidemiologi.
Salah masyarakat?
Barangkali Doni Monardo benar. Indisipliner masyarakat adalah salah satu masalah utama dari karut-marut penanganan COVID-19. Doni benar jika melihat persoalan ini dari perspektif penanganan pandemi, bahwa masyarakat ataupun pemerintah sama-sama subjek yang memegang peranan penting.
Namun, dalam konteks ini, menyalahkan masyarakat semakin tak relevan. Pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki berbagai instrumen yang dibutuhkan untuk menangani pandemi, termasuk dalam hal pengendalian sosial. Instrumen-instrumen itu yang nyatanya gagal diberdayakan pemerintah selama ini.
"Nah, masyarakat ini adalah bukan objek, tapi subjek. Dalam pandemi ini tidak ada objek. Semua subjek. Semua pihak adalah subjek. Objeknya adalah mengeliminasi covid-19. Bahwa masyarakat sebagai subjek dari program pengendalian covid-19 itu dia harus diberdayakan dulu," kata Dicky Budiman.
"Community empowerment ini akan memerlukan strategi yang berbeda, bervariasi, tergantung komunitasnya. Nah ini yang harus di-address oleh pemerintah. Karena yang meng-empowerment ini trigger-nya harus dari pemerintah," tambahnya.
Baca juga:
Pemerintah tak lagi bisa mengandalkan imbauan. Sanksi pun entah bagaimana terasa tak efektif. Hari ini, yang diperlukan masyarakat adalah kepercayaan. Ada cara konkret yang bisa dilakukan, yaitu dengan memaparkan grand design penanganan COVID-19 seluas mungkin kepada masyarakat. Hal yang menurut Dicky belum ia lihat hingga saat ini.
Hari ini masyarakat perlu tahu apa yang mereka hadapi, apa rencana otoritas, hingga kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat terjadi pada mereka. "Satgas ini harus ada konsep yang berbasis ilmiah. Jelas. Komprehensif. Apa sih visinya. Bagaimana tahapannya. Di-mapping-nya. Jangka pendek gimana, menengahnya gimana, panjangnya gimana. Jadi kalau semua orang tahu untuk menuju itu, kita kan membuat strategi turunan yang bertahap," kata Dicky.
Dengan keterbukaan itu, upaya-upaya mendorong perubahan perilaku berdasar nonpharmatical intervention (NPI) --garis besar penanganan COVID-19 di dunia-- seperti masker, cuci tangan, dan jaga jarak akan lebih mudah dilakukan. Seperti kata Doni. Bersama-sama. Pemerintah dan masyarakat.