JAKARTA - Nolin dan Adel tengah dalam kesulitan. Pandemi mengubah kebiasaan keduanya dalam memeroleh pengajaran di sekolah. Tak seperti anak-anak di kota besar, barangkali. Suasana kebatinan Nolin dan Adel lebih penuh risau dan kebingungan. Tak siap mereka untuk sekolah online.
Nolin dan Adel adalah murid salah satu sekolah menengah pertama di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di tempat tinggal mereka, di Desa Tongoa, Dusun Dongi-Dongi, internet tak sampai.
Untuk mengakses internet, si kakak beradik harus pergi ke desa tetangga, di mana yang terdekat berjarak lima kilometer dari tempat tinggal mereka. "Di sini memang belum ada akes internet," kata Nolin, sang kakak, dikutip Antara, Jumat, 24 Juli.
Tak cuma soal internet. Nolin dan Adel juga tak memiliki gawai apapun sebagai perangkat dasar belajar online. Adapun satu gawai smartphone yang mereka miliki adalah hasil meminjam dari seorang tetangga. Smartphone itu dipakai bergantian selama pembelajaran online.
"Saya kelas sembilan, kalau adik saya kelas delapan. Jadi kalau mau belajar online itu HP-nya dipakai gantian. Harus ke desa sebelah yang ada tower-nya juga kalau mau belajar," ungkap Nolin.
Keterbatasan ekonomi jadi kendala orang tua Nolin dan Adel memenuhi kebutuhan darurat sang anak. Berprofesi petani, dua orang tua Nolin dan Adel berpenghasilan tak menentu.
Sistem belajar online benar-benar menyulitkan keluarga ini. Untuk mengakomodir kebutuhan pendidikan Adel dan Nolin, keluarga ini telah mengeluarkan Rp500 ribu untuk biaya pulsa data internet. "Sudah ada lima ratus ribu mungkin untuk isi pulsa. Untuk ikut belajar," Nolin.
Indonesia bersiap sekolah online
Kesulitan ini disadari para pemangku kebijakan di Sigi, termasuk para pengajar di SMPN 16 Sigi. Jelas, Nolin dan Adel tak hanya berdua. Siswa lain di wilayah tersebut mengalami persoalan serupa. Akses internet dan kemiskinan jadi faktor utama terkendalanya tatanan pendidikan darurat ini.
Pagi hari di Rabu, 22 Juli, sejumlah guru dari SMPN 16 Sigi menyambangi kediaman Nolin dan Adel. Para guru memberi modul berisi materi pembelajaran serta soal kepada mereka. Bungaria, Wakil Kepala SMPN 16 Sigi mengatakan, kunjungan itu terbatas. Efektivitasnya betul-betul diragukan. Namun, belajar online lebih dari segala omong kosong untuk daerah yang tak tersentuh internet.
"Sistem seperti ini tidak begitu efektif. Contohnya, tadi saja ada yang bertanya, 'ibu bagaimana menjawab soal ini.' Karena kami juga tidak dibolehkan untuk tatap muka langsung secara lama dengan murid murid," tutur Bungaria.
Selain membatasi waktu kunjungan, sekolah juga membatasi frekuensi kunjungan. Menurut Bungaria, pengajar di SMPN 16 Sigi hanya akan mendatangi rumah para murid sebanyak tiga kali dalam sepekan. "Kami juga mengerti. Makanya soal-soal yang diberikan tidak begitu sulit. Dan jawabannya sudah ada di modul," tutur Bungaria.
Pun bagi para pengajar, kunjungan ke rumah murid bukan tanpa kendala. Kondisi geografis jadi tantangan. ''Kalau ke Dongi-Dongi cuma jarak saja yang jauh. Ada juga rumah siswa kita tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi medannya ekstrem karena jalannya rusak,” ungkapnya.
Dinas Pendidikan setempat menyatakan, selama sistem darurat diberlakukan, sekolah diperbolehkan menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membiayai operasional para guru. Meskipun nominalnya tidak begitu besar.
“Mereka juga diperbolehkan untuk menggunakan dana BOS sebagai operasional guru. Nominalnya tergantung jarak. Kalau tidak salah, tadi mereka bilang Rp12.000,” ungkap Kabid Pendidikan Dasar Disdikbud Kabupaten Sigi Andi Arno.
BACA JUGA:
Dinas pendidikan mengaku tidak bisa berbuat banyak terkait kendala yang dialami sejumlah siswa-siswi. Keterbatasan anggaran menjadi kendala dan terpaksa kerja ekstra harus dilakukan. Langkah efektif saat ini yang dilakukan Disdikbud Kabupaten Sigi hanya mendampingi dan memberikan dukungan kepada seluruh tenaga pengajar.
"Sistem pembelajaran saat ini hanya dua, yakni luring atau luar jaringan (offline) dan daring/dalam jaringan (online). Di Kabupaten Sigi kami memilih luring karena tidak semua orang tua siswa maupun siswi memiliki handphone. Bahkan hampir sebagian besar wilayah di sini masih kesulitan jaringan internet," Andi Arno.
Dalam kondisi yang dialami Nolin, Adel, dan murid sekolah lain beserta para orang tua dan tenaga pengajar di sekitar sang kakak beradik, kutipan Aristoteles terasa nyata. Kita ingat bagaimana sang filsuf berpendapat bahwa "pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis." Semoga.