Guru di Pedalaman Tak Punya Banyak Pilihan Selain Kunjungi Rumah Siswa yang Sekolah Online Tanpa Internet
JAKARTA - Berbagai kendala dialami siswa, orang tua, dan tenaga pengajar dalam tatanan pendidikan baru, sekolah online. Di banyak daerah, jaringan internet yang minim dan kemiskinan jadi persoalan. Kunjungan guru ke rumah siswa disebut dapat jadi langkah 'mengakali' kondisi tersebut.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Elly Hasan Sadeli melihat realita ironis terkait penyelenggaraan sekolah online. "Saya melihat masyarakat di wilayah pedesaan dengan kondisi ekonominya," kata Elly, dikutip Antara, Jumat, 24 Juli.
"Jangankan untuk kebutuhan tersier, masalah pulsa. Mungkin di beberapa tempat ada orang tua atau anak yang tidak punya HP. Ini kan jadi masalah," tambah dia.
Pengorbanan besar dari tenaga pendidik dibutuhkan. Mereka didorong menyambangi kediaman siswa satu per satu. Barangkali juga begitu berat bagi para pendidik yang ada di wilayah dengan kondisi geografis tertentu. Jarak yang jauh serta medan ekstrem bisa jadi kendala serius.
Namun, kenyataannya sekolah online memang terlalu mustahil bagi sebagian anak. Karenanya, pemerintah harus berdiri di belakang para guru. "Saya kira pemerintah harus memberikan solusi terhadap ini. Bukan hanya kebutuhan ekonomi yang terdampak pandemi ini juga kebutuhan media pembelajaran," kata Elly.
Peran orang tua
Di tengah segala keterbatasan yang mungkin dialami orang tua, mereka tak boleh kehilangan peran dalam situasi ini. Orang tua harus mampu mengoptimalkan perannya dalam pengembangan potensi anak, terutama dalam aspek sosial, agama, dan budaya. Kolaborasi antara guru dan orang tua jadi makin krusial.
Dari sisi penyelenggara pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus segera melakukan penyederhanaan kompetensi dasar agar materi yang diberikan lebih padat dan tak terlalu banyak. Elly mengaku banyak menerima keluhan dari orang tua siswa, terutama anak di sekolah dasar (SD) terkait materi pembelajaran saat sekarang jauh lebih rumit, bahkan jika dibandingkan dengan materi pelajaran ketika mereka masih bersekolah secara fisik.
"Misalnya, dari materi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) saja. Anak saya kemarin kelas 1 dan kelas 2 itu sudah harus memahami bagaimana konteks nilai-nilai Pancasila. Misalkan mereka harus memahami butir-butir (Pancasila, itu kan belum saatnya. Ini juga bermasalah, sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kurikulum yang ada di sekolah dasar," kata dia yang juga Ketua Program Studi PPKn FKIP UMP.
Baca juga:
Dalam hal ini, kata dia, tingkatan berpikir anak juga harus diperhatikan karena dengan kondisi materi pembelajaran yang rumit juga akan memusingkan orang tua. Untuk mengoptimalkan perannya dalam situasi ini, orang tua juga harus dapat kemudahan-kemudahan.
Kebijakan dalam pembelajaran juga sering menunjukkan kontradiksi, seperti adanya aturan di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini maupun Taman Kanak-Kanak tidak boleh diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Akan tetapi, dalam pratiknya, bisa membaca sering kali dijadikan salah satu syarat untuk mendaftar sebagai siswa kelas 1 SD.
"Kondisi saat sekarang memang menjadi serba dilema. Dengan adanya pandemi COVID-19, sistem pembelajaran tatap muka tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan pembelajaran secara daring untuk seluruh tingkatan," katanya.