5 Faktor Siswa Putus Sekolah Saat Pandemi: Harus Bekerja Hingga Kecanduan Game Online
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lima faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah di masa pandemi COVID-19. Faktor tersebut karena anak harus bekerja, menikah, menunggak Iuran SPP, meninggal dunia, hingga kecanduan game online.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebut wilayah yang dipantau atas kondisi tersebut berada di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Provinsi DKI Jakarta.

"Pemantauan di lakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) pada Februari," kata Retno dalam keterangannya Minggu, 7 Maret.

1. Siswa putus sekolah karena bekerja

Retno menyebut sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi. Sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Hal ini terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin

"Ada satu siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Ada satu  siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orang tuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya orderan cetakan," ujar Retno.

2. Siswa putus sekolah karena menikah

Retno menemukan ada 33 siswa yang berhenti sekolah karena menikah dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII yang beberapa bulan lagi ujian  kelulusan sekolah. 

"Karena masih terapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ), mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan home visit karena tidak pernah lagi ikut PJJ," jelas dia.

3. Siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan

KPAI mendapat aduan kasus siswa menunggak iuran SPP berbulan-bulan dengan cukup tinggi. Terhitung mulai Maret 2020 sampai Februari 2021 ada 34 kasus. Retno bilang, hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK. Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6 hingga 11 bulan.

"Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi, di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan," ungkap Retno.

Ia melanjutkan, pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orang tua siswa. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orang tua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah. 

4. Siswa Meninggal Dunia

Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu. Satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor.

"Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021," ucap Retno.

5. Kecanduan game online

KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online. Hal ini terjadi di kota Cimahi. Satu di antaranya cuti selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi. 

Retno mendapat laporan dari para guru bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di sekolah online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.

"PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan game online. Bisa saja hal ini dikarena pengawasan orang tua yang lemah dan dapat juga karena upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemi yang mengharuskannya berada di rumah saja," pungkasnya.

Dari kelima faktor tersebut, Retno memberikan rekomendasi, yakni negara harus hadir untuk mencegah anak-anak putus sekolah selama pandemi karena masalah ekonomi atau karena ketiadaan alat daring.

Lalu, pemerintah pusat dan daerah harus membantu kelompok rentan yakni anak-anak dari keluar miskin yang sangat berpotensi kuat untuk putus sekolah. 

Terkait masalah kecanduan game online, para orang tua harus melakukan pendampingan, edukasi maupun pengawasan kepada anak-anaknya selama belajar di rumah.