Bagikan:

JAKARTA - Perkara kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Kini, tiga siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengeroyok seorang guru hingga babak belur.

Mereka merupakan, siswa kelas XII salah satu SMAN di Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), berinisial CY, YC, dan OB.

Pekara yang terjadi pada Selasa, 3 Maret, bermula ketika guru berinisial YF menjadi pengawas ujian. Sebelum memulai ujian, ia memeriksa daftar hadir. Namun, ada satu siswa yang belum mengisinya. Lantas, guru itu pun mempertanyakan kepada semua siswa di depan kelas.

Akan tetapi, tak ada satu siswa pun yang menjawabnya. Kemudian, seorang siswa menyatakan seharusnya semua daftar hadir sudah terisi. Merasa tersinggung dengan sikap yang ditunjukan siswa tersebut, YF kemudian menghampirinya.

Sebagai guru, YF memberikan nasihat. Hanya saja, hal itu justru direspons oleh seorang siswa lainnya. Sehingga, ia pun langsung menghampirinya dan menempeleng kepala siswa tersebut.

Tak terima, siswa tadi membalas dengan memukul YF hingga tersungkur. Bahkan, dua siswa lainnya ikut menginjak-injak guru tersebut.

Akibat dari penganiayaan itu, YF menderita luka berat, di kepala bagian belakang, punggung, tangan dan bahu. Dia harus menjalani perawatan intensif. Kemudian, perkara itu pun dilaporkan kepada pihak kepolisian

Berdasarkan laporan tersebut, ketiga siswa itu diamankan dan dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang penganiayan. Namun, pihak kepolisian terlebih dahulu mengedepankan sistem peradilan pidana anak dalam menangani perkara tersebut dengan alasan mereka masih berusia 17 tahun dan memiliki masa depan.

Dengan muculnya kembali aksi kekerasan yang mencoreng dunia pendidikan, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Seluruh Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, ada tiga faktor utama yang mempengaruhinya. Pertama, soal minimnya peran serta orangtua dalam mendidik anak. Kedua, terkait dengan penggunaan gawai atau ponsel pintar, dan ketiga soal regulasi.

Untuk minimnya peran orang tua, dia mengatakan, saat ini pengawasan anak murid diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah. Padahal, interaksi tenaga pengajar atau pengawasan hanya berlangsung beberapa jam.

Seharusnya orang tua harus ikut berperan dalam pengawasan terhadap anak-anak. Sehingga, tumbuh kembang serta pendidikan dapat termonitor dengan baik.

"Orang tua harus aktif dalam mendidik, informasi apapun langsung sampai. Partisipasi orangtua dalam sekolah itu harus banyak. Jangan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah," ucap Satriwan kepada VOI, Kamis 5 Maret.

Kemudian, faktor kedua soal pengawasan dalam penggunakan gawai. Unsur kekerasan yang kerap dicontoh atau dipraktekan oleh para siswa kebanyakan bersumber dari game yang ada pada ponsel pintar mereka.

Sekolah memang sudah membatasi penggunaan gawai. Akan tetapi, lepas dari sekolah, peran orang tua yang harus melakukan pengawasan kepada anak-anaknya.

"Kedua kontrol dari orangtua, klasik tapi diabaikan. Pengawasan menggunakan gawai. Menurut saya, kekerasan itu pengaruh internet atau game. Kecanduan dengan game yang berunsur kekerasan. Ini sangat penting. Pihak sekolah sangat membatasi. Tapi interaksi dengan orangtua dengan anak kurang. Sehingga, anak menjadi agresif," papar Satriwan.

Terakhir soal regulasi. Pemerintah sudah menggalakan revolusi mental untuk membangun SDM yang lebih baik. Hanya saja, implementasi dari pihak sekolah sebagai ujung tombak, membuat generasi muda semakin berkembang dinilai masih sangat minim.

Masih banyak sekolah yang seolah mengabaikanya. Namun, ketika sedang menjadi sorotan, mereka berlomba-lomba untuk menerapkan peraturan yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Sehingga, hasil yang diperoleh pun seakan tak memenuhi harapan.

"Saya melihat implementasinya dari sekolah sangat kurang dan ketika ramai ada kasus baru ramai. Revolusi mental gagal, saat ini kan mau fokus kepada pembangunan SDM, tapi justru berbanding terbalik karena kurangnya implementasi dari sekolah," tandasnya.