DP3A Ungkap Mayoritas Pernikahan Usia Anak di Kota Bandung Dipicu Pergaulan Bebas
Ilustrasi hubungan asmara pasangan usia anak atau remaja. (Unsplash-Joyce Huis)

Bagikan:

JABAR - Mayoritas pernikahan dini di Kota Bandung terjadi akibat pergaulan bebas berujung hamil di luar nikah. Minimnya pendidikan seks menjadi faktor utama.

Hal itu dikatakan Kepala Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung Felly Lastiawati.

Felly mengungkapkan sampai 18 Juli 2023 tercatat ada 76 permohonan perkawinan anak dengan mayoritas karena alasan telah mengandung. Sedangkan sepanjang 2022, perkawinan anak berjumlah 143.

"Dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Perkawinan Anak, Kepala Kemenag Bandung menjelaskan dari 76 dispensasi, 10 permohonan tidak dikabulkan. Sedangkan sisanya diberikan izin karena alasannya sudah mengandung, mudah-mudahan tidak ada penambahan lagi," ujar Felly dalam keterangannya, Jumat 21 Juli, disitat Antara.

Terkait 10 dispensasi yang tidak dikabulkan, dijelaskan Felly, karena setelah diedukasi mereka mengundurkan diri untuk menikah.

"Biasanya pernikahan anak terjadi karena orang tua yang khawatir jika pergaulan anaknya semakin jauh, daripada kebablasan, mending dinikahkan saja. Padahal sebenarnya masih bisa diedukasi mengenai dampak jika menikah terlalu dini. Salah satunya bayi yang dilahirkan nanti bisa mengalami stunting. Bahkan, kehamilan di waktu sangat muda bisa berisiko ibunya meninggal," ucapnya.

Felly menjelaskan, di Kota Bandung terdapat empat kecamatan dengan angka perkawinan anak yang cukup tinggi, yakni Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Cibeunying Kidul, dan Coblong. Di mana Babakan Ciparay yang tertinggi dengan 12 dispensasi perkawinan anak.

Faktor penyebabnya, kata dia, karena fungsi keluarga yang tidak optimal memberikan pengasuhan kepada anak-anak tersebut, selain masalah pendidikan.

"Di Babakan Ciparay itu banyak anak yang setelah SMP langsung dinikahkan. Mereka tidak disekolahkan ke jenjang lebih tinggi karena para orang tua menganggap sekolah itu hanya formalitas. Untuk kasus seperti ini, peran sekolah melalui guru bimbingan konseling (BK) yang punya tugas besar mengedukasi anak-anak," ucapnya.

Oleh karena itu, DP3A, aparat kewilayahan, Kemenag, dan stakeholder lainnya berkolaborasi untuk terus menerus mengedukasi masyarakat terkait pernikahan anak.

"Kami juga dibantu oleh Puspaga yang diketuai Umi Oded untuk konseling dan mengedukasi tak hanya dari pelaku anak, tapi juga kepada keluarganya. Pendidikan seks ini penting, jangan dianggap tabu," tuturnya.

Pendidikan seks

Hal senada diungkapkan Koordinator Pandawa Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung Pathah Pajar Mubarok yang menyebut pendidikan seks sebenarnya harus diberikan sejak anak berusia dini atau tingkat PAUD.

"Untuk di SD dan PAUD, sex education itu memang masuk ke dalam muatan pembelajaran, jadi tidak secara vulgar. Sebagai contoh, di PAUD itu kita kenalkan tentang konsep keamanan diri melalui nyanyian: 'Sentuhan boleh, sentuhan tidak boleh' itu merupakan sex education. Apa yang boleh dipegang dan yang tidak boleh dipegang," ucap Pathah.

Sedangkan di tingkat SD lebih ditekankan perannya oleh wali kelas. Di tingkat SMP, Disdik Kota Bandung bekerja sama dengan Kedokteran Unpad menjalankan program "Hebat" (hidup sehat bersama sahabat), dengan salah satu SMP yang intens melaksanakan program tersebut yaitu SMPN 51.

Program Hebat dilaksanakan dua kali dalam setahun, semester satu diajarkan tentang pendidikan pencegahan penyalahan narkoba. Lalu, semester dua tentang materi kesehatan reproduksi yang diberikan saat anak berada di jenjang kelas VIII.

"Sudah lama kita bekerja sama dengan Kedokteran Unpad menjalankan program Hebat sejak 2010. Isinya materi pencegahan dalam penyalahgunaan narkoba dan kesehatan reproduksi yang di dalamnya ada "sex education"," ucapnya.

Pathah menambahkan, peran orang tua juga sangat penting dalam pendidikan seks, oleh karena itu, dinas pendidikan juga memasukkan parenting (pendidikan yang dilakukan orang tua) ke dalam program sekolah.

"Kita bahas sesuai dengan kebutuhan, apakah tentang sex education, bullying, atau hal-hal yang lebih prioritas. Dalam parenting itu disampaikan ke orang tua siswa," paparnya.

Dengan demikian, hal yang dilakukan sekolah dan rumah bisa sejalan. Sebab menurutnya, pendidikan seks sangat berkaitan dengan pola pikir orang tua juga.

"Kita mengajak, dan mengimbau orang tua bisa memberikan suatu pengarahan. Ini memang menjadi tantangan kita bersama karena tidak mudah. Misal, pada penyebutan tubuh jenis kelamin laki-laki dan perempuan itu juga dilakukan secara ilmiah dan itu pun perlu proses," akunya.

Untuk melihat keberhasilan dari pendidikan edukasi, Pathah mengatakan, harus ada evaluasi baik secara proses maupun secara hasil. Hal yang paling mudah dilihat dari penambahan aspek kognitif anak.

"Hal yang perlu kita tingkatkan itu dari perilaku, ini belum ada bukti empiriknya. Jadi kita baru menerima hasil evaluasinya itu dari pengetahuan mereka (kognitif)," katanya.

Selain minim edukasi seks, dia menyebut penggunaan media sosial yang tak terkontrol juga menjadi salah satu faktor meningkatnya pernikahan dini usia anak. Sebab, keterbukaan dari media sosial pengaruhnya sangat luar biasa.

"Media sosial menjadi gerbang utama anak-anak untuk mendapatkan informasi yang selebar-lebarnya karena tidak ada filterisasi. Pengawasan dari orang dewasa di sekolah maupun rumah itu turut memberikan andil kepada mereka. Ini menjadi tantangan atau tugas kita bersama," ucapnya.