Waduh, Akademisi UI Menilai Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tak Akan Balik Modal jika Hanya Andalkan Tarif Penumpang

JAKARTA - Bujet jumbo pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai tidak akan mencukupi untuk mencapai break event point (balik modal) apabila hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket penumpang.

Terlebih, saat ini pengerjaan proyek strategis nasional itu tengah mendapat tantangan cost overrun alias pembengkakan biaya dari sebelumnya 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280) menjadi 8 miliar dolar AS atau Rp114,24 triliun. Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto.

“Saya pikir tidak bisa pengoperasian kereta cepat ini hanya mengandalkan kepada tariff penumpang,” ujarnya dalam wawancara di saluran CNBC Indonesia, Selasa, 12 Oktober.

Menurut Toto, perlu ada strategi bisnis lanjutan dari konsorsium maupun operator kereta agar arus pengembalian modal dapat terlaksana secara cepat.

“Mereka harus bisa mengembangkan bagaimana mendapatkan pendapatan-pendapatan di luar hal itu (pendapatan tarif penumpang) dengan pengoperasian properti dari sekitar stasiun-stasiun yang dilalui,” tuturnya.

Dia lantas memberikan contoh pembangunan rumah susun dan apartemen yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan mengintegrasikannya ke jalur-jalur komuter yang ada di di kawasan Jabodetabek.

“Dalam hal ini adalah mengembangkan Transit Oriented Development (TOD), dan juga bisa bagaimana menumbuhkan ekonomi-ekonomi lokal di sekitaran stasiun yang nanti ada di sepanjang jalur agar mereka bisa berkembang,” katanya.

Apabila konsep tersebut telah berhasil diterapkan, Toto yakin pemerintah selaku inisiator proyek kereta cepat dapat memetik keuntungan dari pengembangan konsep ekonomi tersebut.

“Kalau nanti itu bisa dilipatgandakan, maka value yang didapat bisa lebih meningkat dan tidak hanya pendapatan dari tarif penumpang saja,” tegasnya.

Lebih lanjut, akademisi UI itu menilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang berbiaya mahal bisa berdampak terhadap harga tiket yang dijual. Bahkan, dia sudah punya hitung-hitungan tersendiri jika tarif layanan bakal dipatok sebesar Rp150.000 untuk rute pendek dan Rp350.000 untuk rute terjauh.

“Kalau dilihat dari rentang harganya, maka ini untuk kalangan menengah atas. Jadi harus ada upaya pemerintah untuk memberikan subsidi agar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Inilah yang kemudian harus dipikirkan bagaimana cara penyelesaiannya agar tetap visible secara ekonomi,” jelas dia.