Lapor ke DPR, PHRI Sebut Pandemi COVID-19 Bikin Hotel dan Restoran Rugi Rp70 Triliun
JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengungkap, hotel dan restoran mengalami kerugian sebesar Rp70 triliun akibat dampak pandemi COVID-19. Kerugian ini dihitung dari periode Januari hingga April.
Hariyadi mengatakan, ada lebih dari 2.000 hotel yang tutup operasionalnya. Namun, setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan, perhotelan sudah mulai buka pada petengahan Juni.
"Mudah-mudahan bertahap bisa mulai buka lagi dan untuk restoran ada 8.000 yang tutup dan kerugiannya adalah sektor hotel Rp30 triliun dan restoran Rp40 triliun sampai dengan April yang lalu," tuturnya, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia kerja (panja) Pemulihan Pariwisata Komisi X DPR, Selasa, 14 Juli.
Menurut Hariyadi, pandemi COVID-19 juga membuat banyak pula karyawan yang dirumahkan atau dicutikan di luar tanggungan perusahaan (unpaid leave) karena masih menunggu perkembangan peningkatan permintaan.
Kondisinya hingga saat ini, tingkat hunian kamar hotel di Jakarta hanya terisi 15 persen, Batam 3 persen, Bali 1 persen, Surabaya 10 persen, Makassar 6 persen, Yogyakarta 10 persen, Semarang 15 persen dan Medan 10 persen.
Baca juga:
"Yang paling parah itu Bali, PHRI Bali malah sebelum laporan ini dibuat (untuk DPR) suruh sebut saja okupansinya 0 persen," jelasnya.
Menurut Haryadi, kondisi resort dan hotel sedikit tertolong karena pada akhir pekan tingkat hunian sedikit lebih baik. Kondisi saat ini begitu menyulitkan PHRI, seluruh hotel yang saat ini masih bertahan mengalami kerugian keuangan, cadangan modal kerja yang dimiliki para pengusaha hotel pun sudah habis untuk bertahan di masa pandemi.
"Ini pun proses restrukturisasi utang di perbankan masih berjalan untuk bank dengan likuidiitas terbatas proses restrukturisasi dan fee relatif tinggi," ucapnya.
Biaya Operasional Tinggi
Tak hanya itu, Hariyadi mengatakan, biaya operasional lain seperti pembayaran listrik dan gas juga dianggap terlalu memberatkan, karena over paid. Ini terkait ketentuan minimum charge. Padahal, kata dia, pengusaha tidak memakai konsumsi listrik dan gas tidak banyak di masa pandemi.
Meski saat ini sudah banyak restoran yang buka karena mal sudah kembali beroperasi, pengunjung belum kembali datang dengan jumlah normal. Tak hanya itu, Hariyadi mengungkap, pemilik restoran juga terbebani dengan biaya operasional yang tinggi akibat banyak mal yang sulit memberikan potongan sewa ruangan sesuai dengan kemampuan penyewa.
"Anggota kami kesulitan karena bayar sewa saja enggak diringankan. Belum lagi jumlah pengunjung restoran masih sedikit. Serta, beberapa bahan baku impor seperti gula, bawang putih, susu mulai mengalami kelangkaan," ucapnya.