Pemecatan Novel Baswedan dkk yang Dianggap Kesewenangan tanpa Malu-Malu

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan akan memecat 57 pegawainya yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), termasuk Novel Baswedan dan sejumlah nama lain. Hanya saja pemecatan ini belakangan dinilai sebagai bentuk kesewenangan tanpa tahu malu.

Eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui tulisannya di akun Twitternya, miris melihat koleganya mulai membereskan meja kerjanya. Menurutnya, para pegawai ini adalah orang yang teguh memberantas korupsi tapi malah disingkirkan.

"Kita lihat kesewenangan terjadi tanpa malu-malu. Bahkan yg seharusnya bisa berbuat justru “lari” dari tanggungjawab. Inilah masa yg berulang. dg lebih buruk! Ketika sejumlah anak muda yg teguh hati memberantas korupsi justru disingkirkan oleh kekuasaan," tulisnya lewat akun Twitter @febridiansyah, Sabtu, 18 September.

Sebagai orang yang pernah bekerja bersama puluhan pegawai tersebut, Febri menyebut para pegawai punya alasan kuat untuk tetap bertahan melakukan pekerjaannya.

Padahal, di satu sisi upaya penyingkiran terus dilakukan mulai dari janji disalurkan ke BUMN, kriminalisasi, fitnah, hingga pelaksanaan TWK yang ternyata banyak kecurangan di dalamnya. "Kenapa anak2 muda ini masih bertahan? Sederhana, karena cinta. Ada impian. Ingin melihat anak-cucu kita ke depan hidup lebih baik tnpa korupsi," ujarnya.

Febri paham, puluhan pegawai KPK nonaktif ini sedih hingga marah menerima nasib pemecatan. Namun, Febri menegaskan perjuangan memberantas korupsi tidak selesai sampai di sini.

"Sedih, ya. Muak, ya. Marah, ya. campur aduk! Tp saya paham, kita pamit dg kepala tegak. Setelah dg sehormat2nya melawan. Dan kita jg mengerti, perjuangan memberantas korupsi sama sekali belum selesai.Kita akan berjalan terus, teman2.. Dan, kita akan kembali. merebutnya!" ungkap pegiat antikorupsi tersebut.

Sebagai penutup cuitannya, Febri mengunggah foto pita hitam sebagai penghormatan kepada puluhan pegawai yang dipecat.

"Pita Hitam… Sbg rasa hormat pada 57 Pegawai KPK korban #G30STWK," kata dia.

Selain bentuk kesewenangan tanpa tahu malu, pemecatan ini juga dianggap terburu-buru dan dapat menimbulkan preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. Penilaian ini disampaikan oleh Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko.

"Terkait dengan pemecatan sejumlah pegawai yang notabene adalah penyidik dan penyelidik senior yang sedang menangani kasus besar ini bisa menjadi preseden buruk bagi KPK dalam memberantas korupsi," kata Wawan saat dihubungi VOI, Jumat, 17 September.

Keyakinannya ini muncul karena komisi antirasuah belakangan tidak galak menindak koruptor. Selain itu, Wawan juga khawatir dengan didepaknya orang-orang yang selama ini kritis dengan Firli Bahuri dkk akan membuat Pimpinan KPK akan tebang pilih kasus.

"Mereka kini mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," tegasnya.

Lebih lanjut, Wawan juga menilai keputusan memberhentikan puluhan pegawai yang diambil oleh Pimpinan KPK terlalu terburu-buru. Menurutnya, KPK harusnya menunggu keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, KPK juga dianggap telah mengabaikan temuan dan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM di mana kedua lembaga ini mengatakan para pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK dipulihkan haknya dan diangkat menjadi ASN. Dasarnya, pelaksanaan tes yang diatur melalui Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 itu ternyata terdapat maladministrasi dan pelanggaran hak.

"Pimpinan KPK juga abai terhadap temuan dan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM. Mestinya sebagai pimpinan sebuah lembaga negara harus menghormati rekoemndasi lembaga negara lain yang berkompeten di dibidangnya," tegas Wawan.

Diberitakan sebelumnya, 57 pegawai tak bisa lagi bekerja di KPK karena mereka tak bisa menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Para pegawai tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.

Komisi antirasuah berdalih ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka. Meski begitu, KPK memastikan para pegawai telah diberikan kesempatan yang sama meski mereka melewati batas usia atau pernah berhenti menjadi ASN.