Kondisinya Kurang Sehat, Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi Batal Mengikuti Persidangan
JAKARTA - Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi tidak dapat hadir di sidang pengadilan pada Hari Senin karena alasan kesehatan, kata seorang anggota tim hukumnya.
Suu Kyi yang ditahan dengan berbagai tuduhan sejak penggulingannya dalam kudeta 1 Februari silam, diketahui tidak memiliki gejala terinfeksi virus corona. Sakit yang dirasanya lebih disebabkan pusing karena lama tidak bepergian dengan kendaraanny untuk waktu yang lama, ujar salah satu pengacaranya Min Min Soe.
Sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang populer, Aung San Suu Kyi telah menghabiskan sekitar setengah dari tiga dekade terakhir kehidupannya dalam berbagai bentu penahanan atas perjuangan tanpa kekerasan melawan kediktaktoran, sementara kesehatannya diawasi dengan ketat.
"Ini bukan penyakit serius. Dia menderita mabuk kendaraan. Dia tidak tahan dengan perasaan itu dan mengatakan kepada kami bahwa dia ingin istirahat," kata Min Min Soe kepada Reuters, seperti dikutip Senin 13 September.
Satu-satunya komunikasi Suu Kyi dengan dunia luar adalah melalui tim hukumnya, yang mengatakan akses mereka kepadanya dibatasi dan dipantau oleh pihak berwenang.
Dia diadili di ibu kota Naypyitaw atas tuduhan yang mencakup impor ilegal dan kepemilikan radio walkie-talkie serta melanggar protokol virus corona.
Selain itu, dia juga dikenai tuduhan menerima suap besar dan telah didakwa dengan pelanggaran yang tidak ditentukan dari Undang-Undang Rahasia Resmi dalam kasus yang terpisah dan lebih serius, yang dapat dihukum hingga 14 tahun penjara. Tim pengacara menolak semua tuduhan ini.
Sementara, kepala tim kuasa hukum Suu Kyi, Khin Maung Zaw mengatakan kliennya tidak dapat mengambil sikap pada Hari Senin dan hakim menyetujui ketidakhadirannya di persidangan.
"Dia sepertinya sakit, bersin-bersin dan bilang dia mengantuk. Karena itu pengacara hanya berbicara sebentar dengannya," katanya dalam pesan teks.
Terpisah, hampir 50 tentara dan polisi rezim militer Myanmar dilaporkan tewas dalam dua serangan oleh pejuang perlawanan sipil terhadap pos-pos pasukan rezim di Negara Bagian Chin dan Wilayah Magwe pada akhir pekan, mengutip The Irrawaddy Senin 13 September.
Ini tidak terlepas dari meningkatnya bentrokan pasukan rezim militer dengan pasukan pertahanan rakyat, seiring dengan deklarasi perang rakyat oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) sipil pada 7 September.
Setelah pengumuman itu, rezim militer tidak hanya meningkatkan inspeksi dan penangkapannya tetapi juga kekerasan dan penggerebekannya termasuk membakar desa-desa di seluruh Myanmar, terutama di wilayah Sagaing dan Magwe dan Negara Bagian Kayah.
Untuk diketahui, hingga Sabtu lalu sedikitnya 1.080 orang telah dibunuh oleh pasukan junta selama penggerebekan, penumpasan, penangkapan, interogasi dan penembakan sejak kudeta militer, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Sementara, hampir, 8.050 orang termasuk para pemimpin pemerintahan terpilih telah ditahan oleh junta atau menghadapi surat perintah penangkapan.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.