Tren Childfree Pasangan Muda, Bisakah Diterapkan di Indonesia?

JAKARTA - Belakangan ini, istilah childfree kerap jadi perbincangan di jagat sosial Indonesia. Childfree dapat diartikan sebagai pilihan untuk hidup tanpa memiliki anak setelah menikah. 

Hal ini terjadi sejak influencer Gita Savitri Devi mengunggah story di Instagram yang menjelaskan keputusannya dan suami untuk Childfree yang tentu menimbulkan banyak pro-kontra.

Jika melihat data yang dikeluarkan world bank tren angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan pada 2019 angka kelahiran kasar per 1000 pen-duduk di Indonesia berada pada angka 17,75.

Data ini didukung oleh hasil sensus penduduk yang dikeluarkan BPS dimana ada penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk pada 2010-2020 menunjukan angka 1,25 persen menurun dari periode sebelumnya pada 2000-2010 menunjukan angka 1,49 persen

Apabila melihat data tersebut sudah terjadi penurunan kelahiran di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan munculnya fenomena childfree, banyak hal yang membuat seseorang memilih chidfree, yaitu terkait masalah psikologis, ekonomi, dan faktor lingkungan, bahkan beberapa orang memilih childfree karena takut melahirkan anak di dunia yang penuh kekerasan.

Namun, memilih untuk childfree bukan berarti tanpa risiko, di tengah konservatifnya masyarakat Indonesia menjadi childfree akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar, dan dari lingkungan keluarga.

Alasan Pasangan Memilih Chidfree

 

Ada beberapa faktor utama kenapa banyak sekali pasangan yang memilih untuk childfree, yang pertama seperti tidak siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor lingkungan bahkan faktor fisik diri sendiri maupun fisik pasangan. 

 

Penulis buku Childfree & Happy, Victoria Tunggono, mengatakan, apabila ingin menjadi orang tua itu tidak hanya siap dalam hal materi dan fisik saja, tetapi juga harus ada kesiapan mental dari seorang yang ingin atau yang sudah menjadi orang tua untuk bagaimana melayani anaknya kelak.

 

"Bukan hanya orang tua harus melayani, tetapi juga harus di dasari oleh keinginan dari masing-masing pribadi."

Dari wawancaranya terhadap 14-16 orang yang memutuskan childfree, Victoria mengungkapkan ada 5 alasan pokok mereka mengambil sikap seperti itu. Yaitu isu fisik (sakit turunan), psikologis (kesiapan/ masalah mental), ekonomi, lingkungan hidup (dunia sudah terlalu padat), dan alasan personal.

1. Fisik

"Fisik tidak mampu, misalkan dia punya penyakit turunan atau dia secara fisik tidak bisa punya anak, tidak mampu dan ya itu. Karena fisik diri sendiri atau fisik pasangan, dia sudah menikah tapi dia melihat tidak mampu kayanya gak deh mendingan gak usah dari pada ribet."

2. Psikologis

"Jadi yang tadi psikologis itu karena saya punya kelainan masalah mental jadi saya tidak mau. Saya aja belum selesai dengan diri saya sendiri saya sudah harus punya anak, akhirnya kan nanti jadi toxic dan orang-orang memilih childfree itu mereka sadar bahwa mereka secara mental tidak mampu maka mereka memilih untuk childfree."

3. Ekonomi

"Dia merasa selama hidup itu cukup berkekurangan dan dia merasakan gimana rasanya harus berbagi satu mungkin ya satu piring nasi untuk kakak beradik 7 orang yang merasa susahnya seperti itu dengan usia kakak adik yang terlalu dekat, dan dia merasa oh hidup susah dengan kekurangan uang. Jadi ada juga faktor keuangan."

4. Lingkungan

"Jadi dia merasa oh hidup ini dunia ini sudah terlalu padat, ada yang bilang sudah global warming dan sebagainya, dan dia tidak mau menambah kerusakan alam dengan satu lagi jiwa."

5. Alasan Personal

"Dan yang terakhir adalah tentang keputusan sendiri, itu yang seperti saya yang melihat dari orang sekitar lalu jadi bukan alasan-alasan yang keturunan dan sebagainya atau alasan yang lebih prinsipil, tapi ini memang keputusan aja yang kayak emang enggak mau gitu."

Memilih childfree dalam hubungan pernikahan harus didasari oleh keputusan bersama. Jika salah satu pasangan hanya satu saja yang memilih childfree dan yang satunya lagi tidak, itu akan menumbuhkan konflik di dalam hubungan tersebut.

Banyak pasangan suami istri yang memilih untuk childfree karena mereka merasa lemah, baik dari fisik diri sendiri, fisik pasangan, dalam hal mengurus dan membesarkan anak. Permasalahan yang hadir dalam mengurus anak biasanya hadir karena masalah pola asuh dan pola didik.

"Ketika seseorang tidak mendapatkan pola asuh yang baik dari orang tua mereka, maka mereka akan bermasalah di lingkungan masyarakat," kata Victoria Tunggono.

 

BKKBN: Di atas 90 Persen Masyarakat Indonesia Ingin Punya Keturunan 

 

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo membantah konsep bebas anak atau Childfree yang viral belakangan ini adalah imbas dari masa pandemi COVID-19. Dia menilai konsep childfree justru menakuti calon orang tua baru.

 

Menurut Hasto, Indonesia yang menganut budaya ketimuran jauh dari konsep childfree ini. Pasalnya, niat menikah adalah untuk memiliki anak.

 

"Orang timur, kita orang Indonesia ini pada umumnya prokreasi untuk mendapatkan keturunan," ujar Hasto dalam diskusi daring, Jumat, 3 September, malam.

 

Hasto mengakui, memang ada beberapa negara yang memutuskan menikah lantaran hanya ingin mendapatkan ketenangan, kedamaian dan perlindungan. Utamanya pada wanita.

 

"Tapi di Indonesia lebih kepada prokreasi. Kalau ditanya, laki-laki Indonesia menikah cenderung mau dapat kedamaian atau kepuasan seksual atau mendapatkan keturunan? Hasilnya lebih dari 95 persen menginginkan keturunan. Perempuan lebih rendah sedikit angkanya tapi tetap di atas 90 persen," jelas Hasto.

 

"Kalau ditanya perempuan mau nikah, apakah yang penting mendapatkan perlindungan atau ingin punya anak Maka dia tetap ingin punya anak meskipun lebih rendah dari laki-laki. Itu lah ciri kita," sambungnya.

 

Hasto pun mengurai data bawah 80 persen di Indonesia hamil di tahun pertama pernikahannya. Sementara, 10 persen belum hamil bukan karena tidak ingin hamil tapi dikarenakan tidak kunjung hamil.