Apa Itu Negara Islam dan Mengapa ISIS serta Taliban Memimpikannya

JAKARTA - Taliban berkuasa lagi di Afghanistan. Kehendak membangun kembali Afghanistan sebagai negara Islam akan terlaksana dalam waktu-waktu ke depan. Di sisi lain, Islamic State Iraq Syria (ISIS) tengah dirundung kekalahan. Kedua kelompok ini memiliki visi yang sama: mendirikan negara Islam. Apa sih negara Islam? Kenapa banyak yang ingin mendirikan negara Islam?

Indonesia pun pernah dirumuskan menjadi negara Islam. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo jadi tokoh penggagas ide itu. Ia bahkan sempat memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Kabupaten Tasikmalaya, 7 Agustus, 1949. Menurut Kartosoewirjo, konsep negara Islam adalah suatu negara yang didirikan dengan sendi-sendi perintah Allah semata, termasuk hadis shahih, undang-undang hingga aturan negara yang diketuk Ulil Amri Islam.

Bahtiar Effendy, dalam Islam dan Negara --Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009) membagi spektruk pemikiran politik Islam ke dua kelompok besar. Beberapa pemikir Muslim menganggap Islam harus jadi dasar negara. Syariat wajib jadi konsitusi karena kedaulatan politik sejatinya di tangan Tuhan. Mereka juga meyakini ide negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah atau komunitas Islam yang tak kenal batas politik.

Kelompok lain berpendapat Islam tak mengenal pola baku tentang bentuk kenegaraan, apalagi sistem politik yang harus dijalankan ummah. “Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim karena logika tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia (untuk memikirkannya)..."

"...dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan oleh agama ini," Effendy, mengutip pemikir Muslim dari Mesir. Menurut Effendy, spektrum pemikiran yang pertama menekankan aspek legal dan formal. Sementara spektrum pemikiran kedua mengedepankan aspek substansi dari idealisasi Islam.

Negara Islam di dunia, bagaimana karakteristik dan perkembangannya?

Secara garis besar ada lima konsep yang dianut negara-negara Islam dalam sejarah. Pertama, konsep teokratis. Konsep ini memandang kedaulatan sebuah negara ada di Tuhan. Konsep teokratis di negara Islam muncul pada masa Nabi Muhammad SAW.

Kedua, konsep republik. Selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW, urusan pemerintahan dipegang Khulafaur Raysidin. Ada perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pemerintahan Islam. Bentuk republik yang dimaksud tetap mengacu pada kedaulatan tertinggi di tangan Tuhan.

Namun karena tak ada lagi Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu, maka kepemimpinan dipegang para khalifah. Dimulai dari Abu Bakar, Umar bin Khattam, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Negara Islam masa Khulafaur Rasyidin juga mengadopsi demokrasi.

Banyak pemikir Islam berpendapat bentuk negara era inilah yang paling ideal dalam Islam. Ketiga, konsep monarki. Wafatnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era kekhalifahan. Negara Islam berubah bentuk ke sistem monarki atau kerajaan. Kepala negara bersifat absolut.

Kekuasaan adalah hal turun temurun. Musyawarah tak lagi jadi jalan mufakat. Bentuk monarki ini mulai berkembang pada masa Muawiyah, sebelum kemudian dilestarikan oleh Dinasti Abbasiyah. Puncak segala absolutisme itu terjadi ketika munculnya kekuasaan Turki Utsmani di Istanbul.

Mustafa Kemal Attaturk (Sumber: Wikimedia Commons)

Terakhir, monarki konstitusional. Konsep ini muncul pada abad ke-19 dan dipicu masuknya pengaruh Barat ke perpolitikan Islam. Yang kelima, konsep republik. Penghapusan Dinasti Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal Attaturk membawa perubahan besar.

Ia membentuk Republik Turki pada 1923. Satu tahun kemudian, 1924, Turki sepenuhnya jadi republik murni. Perubahan Turki memancing diskusi besar soal konsep negara Islam yang terstruktur dan sistematis.

Hari ini tercatat beberapa negara Islam berdiri, seperti Arab Saudi, Qatar, Yaman, dan Iran. Afghanistan pernah menganut sistem negara Islam ketika Taliban berkuasa tahun 1996 hingga 2001. Pada masa itu Afganistan jadi satu-satunya negara Islam yang menerapkan hukum Islam.

Taliban melarang hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti alkohol, bioskop, musik, internet, televisi, hingga fotografi. Tak hanya itu. Taliban juga mengekang kaum perempuan.  Mereka dilarang bersekolah hingga lapangan kerjanya dibatasi.

“Ketentuan-ketentuan yang merendahkan dan membatasi wanita itu dipandang penting oleh Taliban untuk mencegah kejatuhan negerinya ke dalam jurang kejahatan dan pelanggaran, seperti yang terjadi di negeri-negeri Barat dengan emansipasi wanitanya. Tetapi, ketentuan-ketentuan itu pada faktanya telah menyengsarakan kaum wanita,” tutup Taufik Adnan Amal dalam buku Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (2004).

Kenapa ISIS dan Taliban ingin negara Islam?

Tentara Taliban (Sumber: Wikimedia Commons)

Pada dasarnya ISIS maupun Taliban memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan pemerintahan Islam. Bedanya, ISIS ingin pemerintahan Islam itu mencakup multinasional. Sementara Taliban berfokus pada menguasai Afghanistan dan mendirikan pemerintahan Islam di sana.

"Konsepsi utama mereka itu adalah meyakini bahwa hukum tertinggi di muka Bumi ini adalah hukum Allah. Manifestasinya adalah hukum syariat yang tegas. Bedanya adalah bagi ISIS hanya boleh ada satu otoritas yang menentukan penghakiman syariat bagi seluruh umat Islam di dunia."

"Dan mereka mengklaim otoritas itu. Sementara kalau Taliban, itu tergantung masing-masing negara. Kalau di Arab Saudi ya berarti Saudi. Kalau di Qatar, ya Qatar. Di Afghanistan, ya mereka inginnya jadi Emirat Islam Afghanistan, yang dipimpin Taliban itu," tutur pengamat terorisme Universitas Indonesia Ridwan Habib kepada VOI, Jumat, 27 Agustus.

Perbedaan itu membuat ISIS dan Taliban berseberangan. Dan kemenangan Taliban, menurut Ridwan Habib akan memancing reaksi dari ISIS. Hal itu terbukti dengan adanya dua serangan bom bunuh diri yang menewaskan ratusan orang di luar bandara Kabul, Afghanistan kemarin.

"Tentu ISIS tidak suka dengan kemenangan Taliban. Bagaimanapun juga ISIS punya idealisme sendiri tentang pemerintah Islam. Menurut ISIS hanya boleh ada satu Amirul Mukminin, yakni Abu Ibrahim Al Hashimi, yang harus ditaati umat Islam di seluruh dunia."

Pengamat terorisme lainnya, Al Chaidar mengamini kemenangan Taliban adalah pukulan bagi ISIS. Berbeda dengan Taliban, ISIS mengalami kekalahan. Bahkan khalifah terdahulu mereka, Abu Bakar Al Baghdadi tewas. ISIS hingga hari ini terus tersudut di berbagai belahan dunia.

Menurut Al Chaidar, perbedaan ideologi itu juga yang menyebabkan kegagalan ISIS. "Orang ISIS itu kan enggak punya strategi. Karena ideologinya kafirin. Mereka suka mengafirkan orang lain. Sementara Taliban itu memancing partisipasi orang lain. Mereka juga menghargai orang lain," tutur Al Chaidar kepada VOI.

*Baca Informasi lain soal AFGHANISTAN atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada, Fauzi Iyabu dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya