Suara Meninggi di Hadapan Menterinya, Jokowi Bicara soal Reshuffle

JAKARTA - Dalam sebuah video yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, dengan suara meninggi, Presiden Joko Widodo berbicara mengenai reshuffle dan menyinggung kinerja sejumlah menterinya yang dianggap biasa-biasa saja di tengah krisis akibat pandemi COVID-19.

Pada video yang diambil pada sidang kabinet 18 Juni yang lalu, Jokowi mengatakan dirinya melihat masih ada sejumlah menterinya yang bekerja dan mengambil keputusan seperti biasa ketika tidak terjadi pandemi COVID-19. Padahal, di tengah krisis kesehatan dan krisis ekonomi seperti sekarang ini, harusnya semua pihak bekerja luar biasan.

"Tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, kebijakan-kebijakan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan-kebijakan biasa saja, menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini," kata Jokowi dalam video yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu, 28 Juni.

Dia menilai, di masa seperti ini seluruh kebijakan harusnya sesuai dengan kondisi krisis. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bahkan mengatakan, dalam kondisi krisis, dirinya bahkan siap mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan Peraturan Presiden (Perpres). 

Hal ini, sambung dia, harusnya juga dilakukan oleh para menteri. Namun, dia menilai, ada di antaranya menterinya yang justru menganggap kondisi krisis saat ini biasa-biasa saja. 

"Tangung jawab kita kepada 267 juta rakyat kita. Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa, saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan," tegasnya.

>

Di hadapan para menterinya, Jokowi menyinggung beberapa hal. Pertama mengenai belanja di sejumlah kementeriannya. Dari hasil laporan yang diterimanya, dia melihat capaiannya masih biasa-biasa saja. Padahal, dia berharap dengan adanya belanja besar-besaran di kementerian akan memacu perekonomian di Indonesia yang tengah lesu akibat pandemi COVID-19.

Dia mencontohkan Kementerian Kesehatan. Kata Jokowi, kementerian ini mendapatkan anggaran sebesar Rp75 triliun. Namun, yang dibelanjakan baru 1,53 persen. Padahal, makin cepat uang ini dikeluarkan, maka akan terjadi trigger ekonomi.

Jokowi juga menyinggung pembayaran untuk dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis yang mesti segera diproses dan dikeluarkan. "Belanja-belanja untuk peralatan segera dikeluarkan. Ini sudah disediakan Rp70-an triliun seperti itu," ungkapnya.

Mantan Wali Kota Solo ini turut menyinggung soal bantuan sosial yang jadi tanggung jawab Menteri Sosial Juliari P Batubara. Jokowi meminta agar bantuan sosial harus sudah dikeluarkan, dan harus 100 persen memenuhi target yang sudah ditetapkan.

Dia juga mengingatkan kementerian di bidang ekonomi segera memberikan stimulus ekonomi kepada UMKM. Sebab, para pelaku usaha itu tengah menunggu kebijakan stimulus di tengah pandemi COVID-19.

"Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu. Enggak ada artinya. Berbahaya sekali kalau perasaan kita seperti enggak ada apa-apa. Berbahaya sekali," katanya sambil meminta pelaku UMKM, perbankan, manufaktur, hingga industri lain diberikan prioritas perhatian agar tak ada masyarakat yang merasakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.

"Jangan sudah PHK gede-gedean, duit serupiah pun belum masuk ke stimulus ekonomi kita," imbuhnya.

Siap mempertaruhkan reputasi politik

Presiden Jokowi mengatakan, di tengah pandemi, harusnya semua pihak di pemerintahan melangkah dengan luar biasa dan tidak menjadikan peraturan yang ada sebagai sebuah halangan. Apalagi, dirinya mengaku siap untuk membuat Perppu selama untuk kepentingan rakyat dan untuk negara. 

"Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya. Sekali lagi, tolong ini benar-benar dirasakan kita semua. Jangan sampai justru ada hal yang mengganggu," katanya.

Dia juga mengaku siap membuka langkah politik maupun langkah pemerintahan agar segala kebijakannya bisa berjalan untuk menghadapi pandemi COVID-19.

Jokowi mengaku tak segan-segan melakukan reshuffle atau pergantian kabinet dan membubarkan lembaga yang tak bekerja dengan maksimal di tengah kondisi ini. "Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle. Udah kepikiran kemana-mana saya. Atau buat Perppu yang lebih penting lagi kalau memang diperlukan," tegasnya.

"Artinya tindakan-tindakan yang extraordinary keras akan saya lakukan. ... Saya betul-betul minta pada bapak, ibu, dan saudara sekalian mengerti, memahami apa yang tadi saya sampaikan. Kerja keras dalam suasana ini sangat diperlukan. Kecepatan dalam suasana ini sangat diperlukan," imbuhnya.

Perombakan kabinet makin dekat

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, pernyataan Presiden Jokowi ini menandakan beberapa hal, yaitu dia mulai putus asa terhadap kondisi yang kian sulit di tengah pandemi COVID-19, dan menandai adanya rencana perombakan kabinet.

Hanya saja, Dedi menilai, reshuffle ini memberi kesan kurang baik jika dilaksanakan saat ini. Ada beberapa alasan mengapa perombakan kurang tepat jika dilaksanakan saat ini. Pertama, kata dia, Jokowi bisa dianggap gagal memberi komando ritme kerja para menterinya.

"Sehingga visi misi presiden tidak terimplementasi dengan baik dan justru beberapa (menteri) berupaya membangun panggungnya sendiri," kata Dedi kepada VOI, Minggu, 29 Juni.

Kedua, Jokowi bisa dianggap gagal dalam memilih dan menentukan formasi menterinya. "Kondisi ini bisa saja ada benarnya jika mereka yang terpilih kebanyakan karena telah memenangkan Jokowi dibandingkan karena kapasitas," tegasnya.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga sepakat Jokowi menunjukkan gelagat tengah merencanakan reshuffle atau perombakan kabinet di tengah pandemi COVID-19.

"Tapi reshuffle bagi menteri-menteri yang tak bagus kinerjanya. Menteri-menteri yang mbalelo dan menteri yang miskin prestasi," kata Ujang.

Dia menilai, Jokowi saat ini melihat ada beberapa menterinya yang berjalan tak sesuai dengan visi dan misinya. Sehingga, dia menegur mereka. "Presiden kan memang harus tegas dengan para menterinya. Menteri itu kan anak buah presiden," ungkapnya.

"Jangan presidennya ingin tempe tapi menterinya ingin tahu. Jelas ini merugikan presiden," imbuhnya.

Ujang menilai, ada beberapa menteri yang menurutnya patut untuk diganti. Pertama adalah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Sosial Juliari P Batubara, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, dan menteri di bidang ekonomi.

Beberapa waktu yang lalu, Arus Survei Indonesia (ASI) melakukan survei terkait evaluasi publik jelang setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Survei ini digelar pada 9-12 Juni di 34 provinsi. Wawancara dilakukan lewat telesurvei atau responden diwawancara melalui kontak telepon dengan pertanyaan kuesioner dan menggunakan metode multistage random sampling

Ada 1.000 responden yang ikut dalam survei ini dengan margin of error 3,1 persen dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen

Hasilnya, sebanyak 75,6 persen publik mengatakan setuju jika Jokowi melakukan reshuffle terhadap kabinetnya. Angka itu, merupakan gabungan dari 20,5 persen responden yang sangat setuju dan 55,1 persen responden yang setuju dengan perombakan kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin saat ini. 

Hasil survei ini juga mencatat, tingkat kepuasan publik terhadap seluruh menteri Jokowi tidak mencapai 50 persen. Tingkat kepuasan tertinggi diraih oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dengan angka 43,7 persen.

"Menurut persepsi publik, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja para menteri kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin kurang menggembirakan lantaran angkanya rata-rata di bawah 50 persen. Temuan survei ini bisa menjadi catatan evaluasi bagi Presiden Jokowi untuk meninjau kembali para pembantunya," Direktur Arus Survei Indonesia Ali Ri'fan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 19 Juni.

Sementara 58 persen mengaku tak puas dengan kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan 57 persen mengaku tak puas dengan kinerja Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Di posisi ketiga sebanyak 57 persen responden mengaku tak puas dengan kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ketidakpuasan ini juga ditujukan kepada Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Sosial Juliari Batubara dengan persentase 54 persen. Kemudian, sebanyak 53 persen responden mengaku tak puas dengan kinerja Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.