Bagikan:

JAKARTA - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno angkat bicara mengenai isu reshuffle yang berhembus setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku kecewa dengan para menterinya yang bekerja biasa-biasa saja saat pandemi COVID-19. Menurut Pratikno, Jokowi marah agar menteri di Kabinet Indonesia Maju bisa memperbaiki kinerjanya bukan karena ingin melakukan reshuffle kabinet.

Dia bahkan mengklaim kinerja menteri di Kabinet Indonesia Maju kini meningkat signifikan setelah Jokowi memarahi menterinya saat sidang kabinet paripurna. Sehingga dirinya menilai, isu reshuffle atau perombakan kabinet sudah tidak relevan lagi.

"Teguran keras tersebut dilaksanakan secara cepat oleh kabinet. Ini progres yang bagus. Jadi kalau progresnya bagus, ngapain direshuffle. Dengan progres yang bagus, ini isu reshuffle tidak relevan," kata Pratikno kepada wartawan di Jakarta, Senin, 6 Juli.

Dia berharap koleganya di Kabinet Indonesia Maju bisa terus menjaga kinerjanya. "Jadi jangan ribut lagi reshuffle karena progres kabinet berjalan dengan bagus," tegasnya.

"Kami fokus untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan dan permasalahan ekonomi yang jadi luar biasa di pandemi COVID-19," imbuh Pratikno.

Diketahui, Presiden Jokowi mengaku kecewa dan merasa geram dengan kinerja para menterinya. Dalam sidang kabinet paripurna yang dihadiri oleh menteri-menterinya itu, Jokowi mengaku tak segan-segan untuk melakukan reshuffle atau perombakan kabinet.

Alasannya, di masa krisis akibat pandemi COVID-19 seperti sekarang, Jokowi melihat masih ada sejumlah menterinya yang bekerja dengan biasa-biasa saja bahkan tak mengeluarkan kebijakan yang luar biasa.

Bukan hanya menyatakan tak segan melakukan reshuffle, Jokowi juga menyinggung sejumlah menteri di kabinetnya. Salah satunya adalah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

Dalam sidang itu, Jokowi menyoroti realisasi anggaran penanganan kesehatan masih sangat kecil dari total anggaran Rp75 triliun yang digelontorkan. Dari catatannya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan hanya 1,53 persen dari anggaran tersebut yang telah direalisasikan

Sejumlah nama menteri yang dianggap perlu direshuffle

Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei mereka mengenai presepsi publik soal reshuffle atau perombakan menteri di kabinet Indonesia Maju. Direktur IPO Dedi Kurniasyah mengatakan, publik ingin agar reshuffle dilakukan oleh presiden. 

Dalam survei tersebut tercatat sebanyak 72,9 persen responden ingin agar Jokowi melakukan reshuffle. Sementara 22,4 persen responden menganggap reshuffle tak perlu dilakukan dan 4,7 persen responden mengakut abstain atau tidak memilih.

Ada banyak menteri yang dianggap layak untuk direshuffle dalam survei tersebut dan yang menempati posisi paling atas adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

"Menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly konsisten berada di posisi teratas paling diharapkan reshuffle dengan penilaian 64,1 persen. Kemudian disusul dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto 52,4 persen," kata Dedi seperti dikutip dari keterangan tertulisnya.

Pada posisi selanjutnya, sebanyak 47,5 persen responden berharap Ida Fauziyah direshuffle dari jabatannya. Kemudian, 40,8 persen responden menginginkan Menteri Agama Fachrul Razi diganti dari jabatannya.

Selanjutnya, sebanyak 36,1 persen responden berharap agar Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo direshuffle dan 33,2 persen responden ingin agar Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan juga direshuffle.

Sebanyak 30,6 persen responden juga berharap Menteri Sosial Juliari Batubara direshuffle. Kemudian, 28,1 persen responden ingin agar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki digantikan. Terakhir, sebanyak 24,7 persen responden ingin agar Menpora Zainudin diganti dan 18,4 persen responden ingin agar Erick Thohir direshuffle.

Dedi mengatakan, menteri yang diharapkan publik untuk direshuffle adalah mereka yang dekat dengan Jokowi. Sebut saja Yasonna Laoly dan Juliari Batubara yang merupakan kader dari PDI Perjuangan dan Erick Thohir yang merupakan eks Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin ketika Pilpres 2019 lalu.

"Jangan sampai kedekatan itu membuat mereka kemudian tidak berupaya lebih baik karena merasa aman dari kritik dan koreksi dari presiden," tegasnya.

Adapun survei ini dilakukan dengan melibatkan 1.350 responden di 30 provinsi pada 8 Juni hingga 25 Juni yang lalu dengan metode penelitian wellbeing purposive sampling yakni wawancara melalui sambungan telepon. Tingkat kepercayaan hasil survei sebesar 97 persen dengan margin error atau tingkat kesalahan dalam survei 3,54 persen.