JAKARTA - Presiden Joko Widodo meradang karena kinerja menterinya yang tak maksimal di masa pademi COVID-19. Dia menilai, sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Maju menganggap keadaan saat ini biasa-biasa saja.
Dalam video yang diunggah oleh Sekretariat Presiden pada Minggu, 28 Juni, Presiden Jokowi tampak jengkel terhadap anak buahnya. Beberapa kali nada bicaranya meninggi.
Sebelum menutup pidatonya, dia siap mengambil sejumlah langkah agar kabinetnya bisa bergerak cepat. Termasuk melakukan pembubaran lembaga dan mengganti menterinya yang tidak bekerja maksimal di masa kritis seperti ini.
Pakar bahasa tubuh dan mikroekspresi, Monica Kumalasari menganalisis bahasa tubuh Presiden Jokowi dalam pidato sidang kabinet tersebut. Kata Monica, apa yang disampaikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta itu asli berasal dari dirinya. Sebab, Jokowi tidak membaca teks dan berbicara spontan mengeluarkan kekesalannya.
Monica menganalisis gerak tubuh Jokowi berdasarkan lima kanal, yaitu raut wajah, bahasa tubuh, suara, gaya verbal, dan konten yang dibawakan saat itu.
Lewat ekspresi wajah, dia menganalisis raut wajah Jokowi sepanjang melakukan pidato di hadapan menterinya cenderung memperlihatkan banyak kesedihan.
"Saya mengamati bahwa ekspresi yang ada sepanjang pembicaraan tersebut banyak sadness, dan ini muncul terlihat dari gerakan alis serta bibir. Kemudian ada fear atau rasa takut dan kemudian yang paling dominan adalah emosi dan marah," kata Monica saat dihubungi, Senin, 29Juni.
Menurut dia, meski Jokowi berusaha untuk tenang saat pidato di buka namun emosi tersebut tak bisa disembunyikan. Hal ini tampak dari bibir Jokowi yang terlipat dan alis matanya.
Ekspresi kemarahan ini, sambung Monica, makin terlihat jelas ketika Jokowi mengatakan "Ini sudah tiga bulan ke belakang dan bagaimana tiga bulan ke depan", "Tidak ada progres secara signifikan", dan "Ini saya pertaruhkan reputasi politik saya".
"Nah, di awal ini, Pak Jokowi banyak mengatakan kita memiliki perasaan yang sama. Itu lebih dari empat kali dikatakan seperti itu. Nah, saya menganalisa kalau itu adalah cara dia mengatakan, "hei, kenapa para menterinya tidak berempati'," tegasnya.
Lebih lanjut, Monica melihat ada ekspresi merendahkan yang sejalan dengan kalimat, "Kita harus memiliki perasaan yang sama" yang kerap diucapkan oleh Presiden Jokowi. Menurut dia, ini cara Jokowi menyampaikan kegeramannya terhadap menteri yang tak punya rasa empati di tengah krisis akibat COVID-19.
Sementara, dari bahasa tubuh, Monica menilai, Jokowi kerap menekankan apa yang dia katakan lewat gerakan. Ada beberapa gerakan menujuk dan menekan untuk menggarisbawahi apa yang dia ucapkan.
Dia juga melihat, Jokowi melakukan gerakan memukul podium meski tak benar-benar memukulnya. Menurutnya, hal ini dilakukan Jokowi untuk mendukung kata-kata yang disampaikan.
BACA JUGA:
Dari segi suara, sambung Monica, ada suara Jokowi yang terdengar lebih rendah dan pelan. Hal ini menunjukkan jika ada perasaan sedih dan tidak yakin. Namun, ketika mantan Wali Kota Solo itu meninggikan suaranya bahkan seperti berteriak, hal ini menandakan kemarahan yang memuncak.
Sementara dari gaya verbal, Jokowi tercatat mengulang beberapa kata seperti krisis, 267 juta rakyat, biasa-biasa saja, dan extra ordinary. Kata Monica, hal ini sengaja, untuk menekankan kepada para menterinya jika kondisi saat ini bukanlah kondisi seperti biasa.
"Kata-kata ini menunjukkan analisa bahwa ini kondisinya tidak biasa tapi kenapa anda semua melihat bahwa ini suasananya normal dan biasa saja," ungkapnya.
Sedangkan terkait perilisan konten yang berjarak sepuluh hari dari waktu perekaman menunjukkan Jokowi serius dengan pernyataannya yang akan membubarkan lembaga atau me-reshuffle sejumlah menteri yang tak bekerja di tengah pandemi COVID-19.
Diketahui, video berisi kemarahan Presiden Jokowi tersebut memang tidak ditayangkan secara langsung. Video ini baru dirilis pada Minggu, 28 Juni. Sementara rapat sidang kabinet ini dilaksanakan pada 18 Juni yang lalu.
"Jadi konten keseluruhan (video yang ditayangkan) adalah sebuah introduction bahwa beliau akan mengeluarkan kebijakan baru atau melakukan reshuffle atau membubarkan lembaga negara," ujarnya.
Anomali di kabinet
Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tantan Hermansyah menilai, kemarahan Jokowi di dalam pidato sidang kabinet tersebut mengindikasikan beberapa hal. Di antaranya, menunjukkan adanya anomali yang terjadi di tengah tubuh pemerintahan.
"Ada anomali yang terjadi dalam pemerintahan ini. Publik cukup tahu bagaimana pemerintah ini dijalankan. Anomali-anomali inilah yang kemudian dikhawatirkan mendestruksi kepercayaan kepada pemerintahan," kata Tantan.
Dirinya mengatakan, sepertinya ada pejabat di dalam kabinet yang bekerja seperti biasa dan tak paham bahwa dunia kini berada di era kenormalan baru. Sehingga, segala keputusan tentunya harus dibuat dengan cara yang tidak biasa, baru, dan lebih responsif dari biasanya.
Hanya saja, bagi Tantan hal tersebut harus dihadapi oleh Presiden Jokowi akibat kompromi politik yang dia lakukan di masa lalu. "Hal seperti inilah yang kadang mengganggu akselerasi kinerja pemerintahan ketika masa-masa kritis seperti sekarang," tegasnya.
Dia juga menilai, lambannya sejumlah kementerian dalam menghadapi pandemi ini karena mereka tidak siap menuju kenormalan baru. "Struktur kita disiapkan atau siap hanya bisa dalam sitasi normal-normal saja. Sehingga ketika kita menghadapi hal yang tidak normal agak gelagapan," pungkasnya.