Keinginan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Tangkap Harun Masiku Dianggap Hanya Retorika

JAKARTA - Sikap Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto bernafsu menangkap buronan dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku dianggap hanya sekadar retorika semata.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan pernyataan Karyoto dianggap hanya retorika semata saja. Karena sejak awal, KPK tak mau untuk melakukan penangkapan terhadap eks calon legislatif PDI Perjuangan tersebut.

"Itu hanya retorika yang mbulet, tidak jelas. Memang (KPK, red) sejak awal tidak niat menangkap maka yang ada hanya retorika saja," kata Boyamin kepada VOI melalui pesan singkat, Rabu, 25 Agustus.

Pernyataan serupa juga disampaikannya untuk permintaan KPK kepada NCB Interpol untuk menerbitkan red notice. Menurut Boyamin, retorika ini jelas terjadi karena nama Harun tak muncul di situs milik Interpol yang diduga terjadi karena adanya syarat yang belum terpenuhi.

"Sehingga tindakan ini dapat dikategorikan tidak serius dan kembali sebatas retorika," ungkapnya.

Menurut Boyamin, retorika ini akan dilakukan hingga masyarakat lupa terhadap kasus penyuapan yang juga melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Bahkan, bisa saja Harun tak akan tertangkap dan retorika ini akan bertahan kasus ini kedarluwarsa.

Lebih lanjut, Boyamin menduga saat ini Harun memang tengah bersembunyi di luar negeri. Diduga buronan KPK tersebut pernah berada di Singapura ataupun suatu wilayah di Malaysia.

Dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Karyoto mengklaim telah mengetahui keberadaan Harun Masiku dan bernafsu untuk menangkapnya jika diperintahkan. Ia mengatakan, sebenarnya perintah sudah disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri tapi kesempatannya memang belum ada.

"Saya sangat nafsu sekali ingin menangkap kalau diperintah. Waktu itu Pak Ketua sudah memerintahkan, 'kau berangkat' tapi kesempatannya belum ada," ujarnya seperti dikutip pada Selasa, 24 Agustus.

Karyoto mengatakan buronannya itu tak ada lagi di Indonesia melainkan berada di luar negeri. Hal inilah yang membuat KPK lantas kebingungan untuk menangkap Harun apalagi di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.

"Kita mau ke sana juga bingung karena pandemi sudah beberapa tahun," tegas Karyoto.

Ia juga memastikan informasi keberadaan Harun Masiku ini bukan berasal dari salah satu penyelidiknya yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Harun Al-Rasyid. Apalagi, sejak awal, Harun dan anggota satgas yang menangani kasus ini sudah tahu keberadaan incaran mereka.

Tapi, semua gerak KPK memang saat ini tengah terhalang COVID-19. "Jadi tidak ada sama sekali mau menginikan, mengitukan. Selama yang bersangkutan ada dan bisa dipastikan A1 keberadaannya saya siap berangkat kalau memang tempatnya bisa dijangkau ya," ungkap Karyoto.

Hanya saja, dia tak mau memaparkan di mana lokasi Harun Masiku sekarang demi mencegah pergeseran lokasi.

"Enggak etis dan enggak patut kami buka di sini karena kalau dia tahu kita sedang cari di mana nanti dia geser lagi, bingung lagi kita," kata Karyoto menyudahi pernyataannya.

Mengingat lagi perjalanan kasus Harun Masiku

Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari 2020. Penyuapan ini dilakukan agar dia mendapatkan kemudahan duduk sebagai anggota DPR RI melalui pergantian antar waktu atau PAW.

Pelarian Harun bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan soal perkara ini pada 8 Januari 2020. Dalam operasi senyap itu, KPK menetapkan empat tersangka yaitu Harun Masiku, Wahyu Setiawan, eks Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri.

Hanya saja, Harun yang tak terjaring OTT tak diketahui keberadaannya. Dia dikabarkan lari ke Singapura dan disebut telah kembali ke Indonesia.

Kasus ini bermula dari meninggalnya caleg PDIP yang bernama Nazarudin Kiemas. Pada bulan Juli 2019, partai berlambang banteng itu mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).

Pengajuan itu lantas dikabulkan dan sebagai penentu pengganti antar waktu (PAW), partai berlambang banteng itu kemudian mengirimkan surat pada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti Nazarudin.

Hanya saja, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti saudara ipar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang telah meninggal dunia itu. Jelas alasannya, perolehan suara Riezky berada di bawah Nazarudin atau di posisi kedua untuk Dapil Sumatera Selatan I.

Lobi-lobi kemudian dilakukan agar Harun bisa menjadi anggota legislatif. Melihat celah itu, Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU menyebut siap membantu asalkan ada dana operasional sebesar Rp900 juta dan transaksi pun dilakukan dalam dua tahap di pertengahan dan akhir bulan Desember 2019.