Bahaya Menanti di Masa Depan jika Sekolah Tatap Muka Tak Kunjung Diterapkan
JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengimbau agar sekolah di beberapa daerah melakukan tatap muka terbatas. Ia berkeras membuka sekolah lantaran cognitive learning loss pelajar sudah kritis. Lantas apa itu cognitive learning?
"Sekarang perjuangan kita serius dan jelas setiap kali diskusi dengan Kementerian lain posisi kami adalah secepat dan seaman mungkin karena ini sudah terlalu lama. Kita harus lihat sisi kognitif learning loss anak kita sudah terlalu kritis dan harus secepat mungkin dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Nadiem, saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, 23 Agustus.
Sekadar informasi, sekolah tatap muka sudah bisa digelar di wilayah PPKM level 3, 2, dan 1. Kapasitasnya maksimal 50 persen dan bisa dilakukan selama 2 jam dalam sehari dan berlangsung dua kali dalam seminggu.
Nadiem berkeras membuka sekolah tatap muka bukan tanpa alasan. Menurutnya sekolah daring terlalu lama begitu berisiko bagi generasi muda INdonesia.
"Saya tidak harus menjelaskan lagi apa risikonya. Ini kita sudah ada penurunan capaian belajar, banyak anak putus sekolah, apa lagi perempuan. Di berbagai macam daerah banyak learning loss yang dampaknya permanen," ujar Nadiem.
Cognitive learning
Seperti diketahui jika setiap murid punya keahlian berbeda. Ada murid yang lebih cepat memahami pelajaran matematika, sementara yang lain begitu kesulitan memahaminya. Ini berlaku juga disiplin ilmu lain.
Itulah yang menjadi salah satu peran guru di sekolah. Ketika guru memahami lebih banyak teori kognitif, mereka akan punya lebih banyak cara untuk menciptakan lingkungan yang penuh dengan pengetahuan dan strategi untuk mengemong setiap siswa yang punya keunikan masing-masing.
Pada dasarnya kemampuan kognisi menjadi daya dorong seseorang untuk menyadari dan berpikir tentang pemikirannya. Hal ini sebagai sarana untuk membantu mereka memahami teori atau konsep yang sedang mereka pelajari.
Sementara itu cognitive learning sendiri seperti dinukil laman Western Governors University, dapat membantu meningkatkan motivasi pelajar karena memberi mereka cara baru untuk memahami cara berpikir mereka sendiri. Kognisi merupakan kunci untuk membuka pengetahuan dan kekuatan otak yang berdampak bagi pelajar serta meningkatkan keterampilan. Lantas apa sebenarnya cognitive learning?
Sebelum menjawabnya, penting bagi kita untuk mengetahui "metacognition". Metacognition adalah kesadaran pikiran dan proses berpikir kita. Konsep untuk mengetahui bagaimana kita berpikir adalah dasar untuk memahami cognitive learning.
Teori tentang kognisi ini melatih peserta didik untuk melihat proses berpikir dan mental mereka. Selain itu, dari cognitive learning ini kita bisa mengetahui bahwa pemikiran kognitif dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
"Jika proses kognitif kita bekerja normal, bisa lebih mudah belajar. Namun jika ada sesuatu yang tak beres dengan cognitive learning, kesulitan dapat terjadi," tertulis.
Dampak masa depan
Antara tahun 2030 sampai 2040 Indonesia diprediksi akan mencapai puncak periode bonus demografi. Ini terjadi ketika penduduk usia produktif negara (usia 15-64) akan lebih besar daripada populasi usia non produktif (anak-anak dan orang tua).
Namun pelaksanaan belajar dari rumah di Indonesia yang tidak efektif selama pandemi COVID-19 menurut Peneliti Senior SMERU Research Institute, Syaikhu Usman dalam tulisannya di The Conversation, dapat menghapus peluang untuk mendapatkan manfaat dari bonus demografi. Mereka yang tak optimal dalam masa belajarnya seperti sekarang ini, akan memasuki dunia kerja pada 2035 nanti.
Riset SMERU pada 2020 mencatat bahwa proses belajar dari rumah di Indonesia menemui banyak hambatan. Mulai dari ketimpangan akses fasilitas pembelajaran daring hingga ketimpangan kemampuan guru.
Sedangkan menurut studi Bank Dunia, memperikirakan pembelajaran di rumah yang tidak efektif menyebabkan hilangnya capaian belajar murid di Indonesia. Tentu saja masalah-masalah tersebut tak dapat dianggap sepele.
"Hal ini memperlebar kesenjangan antar murid di Indonesia dengan hilangnya capaian belajar (learning loss) terburuk pada kelompok miskin. Sehingga memperparah berbagai masalah buruknya kompetensi ketenagakerjaan yang sudah ada saat ini," tulis Syaikhu.
*Baca informasi lain tentang PENDIDIKAN atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Yang Terjadi Jika Paru-Paru Rusak 60 Persen seperti Deddy Corbuzier: Mengenal Bahaya Badai Sitokin
- Penyintas Korupsi dan Penyuluh Antikorupsi : KPK dalam Upaya Menormalisasi Perilaku Korup
- 404: Not Found: Anda Menuju Kebuntuan Demokrasi
- 20 Tahun yang Mengubah Taliban: Akan jadi Negara seperti Apa Afghanistan ke Depan?