Jokowi Minta Harga PCR Turun, Anggota Komisi IX: Dorong Permenkes Segera Diterbitkan
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menurunkan harga tes PCR terendah Rp450 dan maksimum Rp550 ribu dan hasilnya bisa diketahui lebih cepat. Perintah tersebut disambut positif anggota Komisi IX, Intan Fauzi. Ia mendorong agar peraturan menteri kesehatan (permenkes) terkait harga PCR tersebut segera diterbitkan.
Intan menekankan pernyataan Jokowi tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk aturan turunan yang jelas yakni dalam bentuk Permenkes dan bukan hanya Surat Edaran seperti Antigen yang lalu. Sebab, harga PCR yang terjangkau adalah kebutuhan mendesak di masyarakat.
"Arahan presiden agar ada harga tertinggi untuk PCR maupun antigen harus dipercepat dengan menetapkan dalam peraturan, sehingga mengikat. Biasanya terjadi kendala pelaksanaan di lapangan harga masih beragam dan tinggi karena tidak ada aturan yang jelas. Saya meminta agar Pemerintah segera menindaklanjuti dan memberlakukan peraturan tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR Swab. Jika tidak, ini hanya sebatas pernyataan," katanya, di Jakarta, dikutup Senin, 16 Agustus.
Intan mencontohkan harga batasan tertinggi rapid tes Antigen yang dimuat dalam SE Dirjen Pelayanan Kesehatan (Yankes) Kemenkes Nomor HK.02.02/1/4611/2020, dalam SE tersebut ditetapkan batas harga tertinggi di Pulau Jawa Rp250.000 dan di luar Pulau Jawa Rp270.000.
Namun, lanjut Intan, dalam pelaksanaannya di lapangan, pada awalnya aturan ini tak sepenuhnya terlaksana. Padahal dalam prosesnya sudah melibatkan kajian BPKP dan diberlakukan sebagai aturan perjalanan.
"Harga ambang batas antigen dituangkan dalam SE Dirjen Yankes, sehingga pengawasan lemah," tuturnya.
Menurut Intan, harga tes PCR memang sudah semestinya diturunkan, mengingat kepentingan testing dan tracing sangat penting untuk menekan penularan COVID-19 di masyarakat.
"Menurut saya memang seharusnya biaya pemeriksaan murah, karena pandemi ini salah satu kuncinya adalah testing dan tracing," ujarnya.
Apalagi, kata Intan, pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat besar Rp9,9 triliun untuk testing dan tracing. Dengan adanya anggaran tersebut, menurut dia, seharusnya testing dan tracing kepada lingkaran pasien positif bisa dilakukan gratis.
Adapaun rincian anggaran diagnostik tahun 2021 yakni untuk testing sebesar Rp9,3 triliun dan tracing Rp0,6 riliun.
"Apalagi bagi masyarakat yang mau melakukan test PCR mandiri, wajib diberlakukan tarif murah," katanya.
Intan mengungkapkan, Komisi IX DPR sudah kerap mengingatkan Kemenkes soal rendahnya serapan anggaran diagnostik (pemeriksaan dan pelacakan), yang seharusnya bisa dilakukan maksimal. Namun, dengan besarnya anggaran Rp9,9 triliin tersebut ternyata sarapannya masih rendah.
Data Per 29 Mei 2021 saja, kata Intan, realisasi anggaran testing dan tracing hanya Rp152,11 miliar, atau hanya sekitar 2,50 Persen.
"Anggaran besar, tapi realisasi atau serapan anggarannya selalu rendah. Tracing juga sangat tidak maksimal karena WHO mensyaratkan jika satu orang positif maka harus dilakukan pelacakan minimal 30 orang yang melakukan kontak erat," tuturnya.
Terkait dengan permintaan Jokowi hasil PCR harus lebih cepat, Intan mengatakan bahwa tes PCR masih mengalami kendala yaitu mesin real time PCR, reagen-kit dan PCR test kit masih tergantung impor. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat harga PCR melambung tinggi.
Kalaupun ada test kit produksi dalam negeri, kata Intan, belum bisa memenuhi kebutuhan massal. Demikian juga importirnya dimana para pelaku usahanya masih terbatas, sehingga mengakibatkan biaya tinggi dan masyarakat yang terbebani.
"Kita harapkan produsen Alat Kesehatan dalam negeri harus lebih produktif sehingga di bidang kesehatan dan penanganan pandemi, Indonesia tidak bergantung kepada produk luar negeri yang ujungnya biaya tinggi sehingga membebani rakyat ," tuturnya.
"Saya yakin baik BUMN atau swasta yang bergerak di bidang Alkes bisa mengejar ketertinggalan itu," sambungnya.
Baca juga:
Jokowi minta harga PCR turun dan hasil lebih cepat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menurunkan harga tes PCR terendah Rp450 dan maksimum Rp550 ribu. Permintaan ini disampaikan Jokowi merespons harga tes PCR yang masih relatif mahal di Tanah Air.
Lebih lanjut, menurut Jokowi, salah satu cara untuk meningkatkan testing COVID-19 adalah dengan menurunkan harga tes PCR.
"Saya sudah berbicara dengan menkes mengenai hal ini. Saya minta agar harga tes PCR Rp450-550," katanya dalam sebuah video yang diungggah Sekretariat Kabinet, Minggu, 15 Agustus.
Tak hanya meminta menurunkan harga tes PCR, Jokowi juga meminta agar hasil tes PCR dapat dipublikasikan dalam jangka waktu 1x24 jam. Sebab, selama ini ada hasil tes PCR yang baru dipublikasikan beberapa hari.
"Selain itu saya minta tes PCR dapat diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1x24. Kita butuh kecepatan," tuturnya.
Sekadar informasi, Indonesia menjadi salah satu negara yang memasang harga tinggi untuk test COVID-19 dibanding dengan sejumlah negara di dunia. Di beberapa negara, bahkan tes COVID-19 diberikan secara cuma-cuma alias gratis.
Di Indonesia, harga PCR dibanderol dengan harga Rp 800.000 hingga jutaan rupiah, tergantung dengan kecepatan data diterbitkan. Untuk hasil tes PCR pun beragam, ada yang 24 jam, namun ada pula yang harus menunggu beberapa hari.
Pemerintah melalui Kemenkes telah menetapkan tarif batas tertinggi untuk swab PCR mandiri sebesar Rp900.000. Keputusan itu diambil setelah banyak pihak mengusulkan pemerintah menetapkan standar tarif karena harga selama ini yang terlalu mahal.