Meski Kasasi Ditolak MA, KPK Tetap Yakin Sofyan Basir Terlibat Kasus Suap PLTU Riau-1
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakin eks Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir terlibat dalam kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1 meski kasasi yang diajukannya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, keyakinan kuat lembaganya ini didukung dengan adanya bukti permulaan yang cukup dalam kasus ini yang kemudian menyeret sejumlah nama politikus.
"KPK dari awal proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan meyakini bukti-bukti dalam perkara ini kuat. Kita bisa melihat fakta-fakta hukum hasil persidangan perkara terdakwa Eni Maulani Saragih, Johanes Budi Sutrisno Kotjo, dan Idrus Marham yang seluruhnya telah terbukti bersalah dan mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 17 Juni.
Dia juga mengatakan, keyakinan lembaga antirasuah mengenai keterlibatan Sofyan juga telah memiliki bukti permulaan yang cukup dan diperdalam pada proses penyidikan. "Seluruh rangkaian perbuatan terdakwa Sofyan Basir telah terurai jelas di dalam surat dakwaan JPU KPK," ungkap dia.
Meski meyakini eks Dirut PT PLN (Persero) itu terlibat dalam kasus suap, namun KPK tetap menghormati putusan Mahkamah Agung dan independensi peradilan. Tapi, KPK belum menerima putusan lengkap kasasi tersebut. Sehingga, mereka belum mengetahui langkah lanjutan atas putusan tersebut.
"Kami akan mempelajari pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi tersebut sehingga dapat dianalisa lebih lanjut apa langkah hukum berikutnya yang dapat dilakukan KPK," tegas Ali.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir.
Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung menilai, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak salah dalam menerapkan vonis terkait perkara Sofyan Basir dalam kasus suap PLTU Riau-1.
"Permohonan kasasi penuntut umum ditolak karena menurut Majelis Hakim Kasasi, putusan judex facti Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat tidak salah dalam menerapkan hukum," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Rabu, 17 Juni.
Baca juga:
Pengacara Sofyan Basir, Soesilo Ariwibowo mengatakan, keputusan tersebut sudah tepat. Sebab, sejak awal tidak ada keterlibatan kliennya dalam kasus suap tersebut.
"Saya kira putusan itu sudah tepat karena memang sejak awal tidak ada jejak atau mens rea pak SB untuk melakukan pembantuan untuk tindak pidana korupsi," kata Soesilo saat dihubungi.
Fakta-fakta tersebut, sambung dia, bisa dilihat kembali di pertimbangan putusan majelis Pengadilan Tipikor. Atas keputusan pembebasan tersebut, maka pihak Sofyan Basir berharap KPK bisa segera membuka blokir rekeningnya.
"Kami tinggal menunggu petikan putusan untuk ajukan eksekusi blokir beberapa rekening yang sampai sekarang masih dibekukan," tegasnya.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir atas perkara dugaan pembantuan tindak pidana suap terkait PLTU Riau-1.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menilai Sofyan Basir tak tahu mengenai suap yang terjadi antara mantan Wakil Ketua Komisi VII DR RI Eni Maulani Saragih dengan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marhan dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat proses kesepakatan terkait proyek tersebut.
Atas putusan itu, KPK kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Kamis, 28 Juni 2019.
Dalam memori kasasi, Jaksa KPK mengatakan keyakinan atas tindak pidana yang dilakukan eks Dirut PT PLN (Persero) itu. Lembaga antirasuah itu juga menyatakan, putusan Pengadilan Tipikor tidak dapat dikategorikan sebagai putusan bebas murni.
Selain itu, Jaksa KPK juga memaparkan sejumlah fakta persidangan yang memperkuat peran dan keterlibatan Sofyan dalam kasus tersebut. KPK juga menyertakan rekaman sidang untuk meyakinkan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung.
KPK meyakini, Sofyan Basir mengetahui adanya praktik suap yang dilakukan Eni Saragih, Idrus Marham, dan Kotjo mengenai proyek tersebut.