Kisah Murtado, Jagoan Betawi di Balik Julukan Persija 'Macan Kemayoran'
JAKARTA - Persija Jakarta. Pembahasan seputar klub Ibu Kota selalu menarik. Kehidupan pemain. Aktivitas transfer. Bahkan sejarah. Terkait sejarah, tahukah Anda asal muasal julukan Macam Kemayoran untuk Persija Jakarta? Ini dia, kisah Murtado, Sang Macan Kemayoran.
Majulah.. Majulah.. Persija..
Majulah Persija pantang mundur..
Tunjukkan taringmu, tundukkan lawanmu..
Kami selalu mendukung mu..
Petikan yel-yel di atas hampir selalu dikumandangkan Jakmania, penggemar setia Perija Jakarta setiap kali Macan Kemayoran berlaga. Legenda Persija Jakarta, Bambang Pamungkas menuturkan kisah-kisahnya bersama momen magis ini dalam buku Bepe 20: Pride (2014).
Menurut Bepe --sapaan akrab Bambang, nyawa Persija ada pada julukan Macan Kemayoran. Julukan ini akan selalu hidup seiring datangnya dukungan dari Jakmania.
“Dukungan kita tidak hanya akan meringankan beban mereka, tetapi juga akan memberi tim ini tambahan tenaga, keyakinan serta percaya diri sehingga akan membuat ‘macan-macan’ kita semakin termotivasi dalam berjuang mengibarkan panji-panji Macan Kemayoran,” terttulis.
Jakmania selalu berhasil melihat sepak bola sebagai olahraga tim, bukan hanya individu. Setali dengan itu, fanatisme kepada klub menjadi meninggi. Para suporter selalu selangkah lebih maju dalam melihat kelebihan dan kekurangan tim.
Julukan Macan Kemayoran semacam sebuah gengsi yang berangsur-angsur menjadi mantra untuk menumbuhkan kebudayaan dan identitas baru. Dengan satu sebutan "Macan Kemayoran", semua orang yang meneriakkan akan merasa menjadi bagian penting dari Klub.
“Gua sangat yakin, semangat Macan Kemayoran itu masih ada di dada, hati dan jiwa loe,” imbuh Bepe kala mengenang mendiang sahabatnya yang juga Jakmania, Gugun Gondrong.
Asal-usul nama “Macan Kemayoran”
Sejarah awal nama Macan Kemayoran tak lain berasal dari seorang jagoan Betawi bernama Murtado. Meski tak sepopuler Si Pitung maupun Si Jampang, perihal kehebatan bela diri boleh diadu. Bukan tanpa alasan Murtado dijuluki Macan Kemayoran.
Sebagai bukti kehebatannya, tak jarang Murtado muncul dalam buku-buku, sehingga banyak di antaranya kisah Murtado direka menjadi cerita rakyat. Sebuah cerita tentang Murtado mengaitkannya dengan keberanian orang-orang Betawi menentang kesewenang-wenangan Belanda. Amanda Clara, dalam buku Cerita Rakyat Dari Sabang Sampai Merauke (2008) menceritakan kisah itu.
Dikisahkan bahwa Murtado yang lahir pada 1869 terkenal berani dalam membela rakyat dari segala bentuk kejahatan, baik dari jawara lokal, maupun centeng-centeng Belanda. Atas sifatnya yang sering pasang badan membantu warga Kemayoran, maka Macan Kemayoran semakin kesohor di seantero Batavia.
Murtado tak pernah kehabisan semangat membela rakyat. Kelak, saat ada benih-benih kejahatan mulai hadir di Kemayoran, Murtado merupakan orang pertama yang menantang ketidakadilan, entah itu melawan Belanda langsung atau centeng-centengnya. “Tindakan sewenang-wenang ini tak bisa dibiarkan,” ucap Murtado.
Baca juga:
Dalam perjalanannya, Murtado banyak mengalahkan jago-jago dari kawasan lainnya. Sampai-sampai, centeng Kompeni pun satu demi satu dikalahkan olehnya, termasuk Bek Lihun. Atas keberaniannya dan tak kenal takut, Belanda pun kepincut. Mulailah lobi-lobi iming-iming harta berlimpah supaya Murtado mau bekerja sama dengan kompeni.
Tapi, Murtado tetap dalam pendiriannya membela warga Kemayoran. Tawaran itu ia abaikan. Bagi Murtado, menjadi alat penjajah untuk memeras keringat rakyat sendiri merupakan suatu penghinaan besar bagi warga Betawi.
Selanjutnya, Murtado pun langgeng menjadi jawara yang ditakuti. Sosoknya ini masuk ke dalam jajaran jago yang memiliki konotasi positif. Sebagaimana yang Margreet Van Till dalam buku Batavia Kala Malam (2000) yang sering kali mengungkap jago dalam konotasi positif.
”Jago merupakan pelindung masyarakat. Dalam hal ini jago tidak menggunakan kekuatannya untuk menundukkan wilayahnya sendiri dari otoritas resmi. Tetapi mereka muncul sebagai seorang kampiun dari orang-orang yang tertindas,” tulisnya.
Tak hanya Margreet, kami juga menghubungi tokoh muda Betawi, Masykur Isnan untuk mendapat gambaran terkait sosok Murtado. Dirinya berucap, Murtado merupakan paket lengkap representasi orang Betawi sesungguhnya: pandai bela diri, rendah hati, sederhana, dan suka menolong yang lemah.
“Orang Betawi pada umumnya dapat belajar banyak pada sosok Murtado. Terutama dalam hal keberanian, konsisten, dan memihak pada yang lemah. Hal itu dibuktikan oleh Murtado yang berani menolak mentah-mentah tawaran Belanda untuk bekerja sama. Macan Kemayoran sadar betul bahwa Belanda sedari awal sudah bertindak sewenang-wenang di Batavia,” ucapnya kepada VOI, 11 Juni.
Berkat itulah Murtado langgeng menjadi legenda di tanah Betawi. Keberanian, serta semangatnya membela yang lemah membuatnya mendapat julukan sebagai Macan Kemayoran, sebuah julukan yang menegaskan jiwa Murtado yang tak kenal takut, dapat menerkam siapa saja yang bermaksud jahat kepada warga Kemayoran.
Keberadaan macan di Batavia
Lantas, apakah pernah ada macan dalam artian sebenarnya di Batavia? Jawabannya benar-benar ada. Bukti tersebut hadir dalam sebuah surat kabar Java Bode (1882) yang memuat laporan terkait keberadaan macan yang berkeliaran di hutan seputar Batavia.
‘Tadi malam, harimau, yang kami sebutkan sebelumnya di surat kabar ini, lagi-lagi muncul di Desa Pepango --daerah sekitar Tanjung Priok, di mana harimau ini sekali lagi membuat serangan pada seekor sapi. Oleh karena sapi terluka parah, pemiliknya lalu menyembelih sapi tersebut.”
“Beberapa pemburu terlatih dari Kemajoran, antara lain Mr. Simons akan memburu hewan yang berbahaya tersebut dalam beberapa hari ini, dan kami berharap semoga usaha mereka dapat sukses dengan hasil yang memuaskan,” tertulis dalam laporan.
Pada 1644, Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuijker (1653–1678) memberitakan, dia bersama tiga ratus orang pernah berburu banteng di daerah Weltevreden –-daerah yang sekarang Lapangan Banteng-- yang sebagian masih berupa hutan belukar itu. Bukan cuma banteng yang menjadi buruan, ada pula harimau (macan), babi dan berbagai satwa lain yang berkeliaran.
Oleh sebab itu, daerah tersebut sempat dikenal sebagai tempat berburu serdadu Belanda. Alhasil, aktivitas berburu sempat didukung oleh pemerintah kolonial. Hal itu dikarenakan setiap satwa yang berhasil diburu akan digiring menuju pintu gerbang kota Batavia untuk dikenakan pajak sebanyak sepuluh persen. Keberadaan macan di Batavia sesungguhnya pernah ada.
Bukti lainnya juga muncul dari Hendrik E. Niemeijer, dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012). Ia menyatakan, saat awal Batavia berdiri, banyak macan berkeliaran di semak-semak. Bahkan, beberapa kali muncul di dekat tembok Kota Batavia.
“Selama kurun waktu 50 tahun pertama tanah jajahan itu, masih banyak harimau berkeliaran di semak-semak, bahkan di dekat tembok kota. Pemburu yang berhasil menangkap atau membunuh ‘kucing besar’ itu biasanya diberi hadiah beberapa puluh uang real yang diambil dari kas Kompeni untuk setiap harimau yang mereka tangkap atau bunuh,” ucap Hendrik.