Ramai-Ramai Merobohkan 'Berhala' Perbudakan dan Diskriminasi di Dunia

JAKARTA - Demonstran antirasisme di Inggris merobohkan patung pedagang budak abad 17 Edward Colston dan membuangnya ke pelabuhan. Pesannya jelas: melenyapkan praktik diskriminasi ras. Beberapa monumen lain di beberapa negara yang melambangkan hegemoni perbudakan juga mengalami hal serupa. Apa saja? Ada kisah apa di balik monumen-monumen itu?

Mengutip BBC, kapal milik Edward Colston diyakini telah mengangkut sekitar 80 ribu pria, wanita, dan anak-anak dari Afrika ke Amerika. Namun, ia justru menjadi tokoh terhormat dan dihormati oleh warga Kota Bristol yang mendapat untung dari kekayaannya.

Pada Minggu kemarin, pemerintah kota tersebut mengutuk budaya rasisme. Hal itu disambut baik pengunjuk rasa dan mereka berharap hal itu bisa membawa perubahan.

"Patung-patung itu menyiratkan bahwa ia adalah pria hebat yang melakukan hal-hal besar. Itu tidak benar, dia adalah pedagang budak dan pembunuh," kata Sejarawan David Olusga.

Gerakan unjuk rasa yang dipicu kematian George Floyd telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Di Bristol, mereka turut menyoroti sejarah kolonialisme atau perbudakan dan tokoh-tokoh yang mewakilinya.

Selain patung Colston di Bristol, 'berhala-berhala' perbudakan dan diskriminasi lain juga dirobohkan di berbagai tempat lain.

Winston Churchill

Patung Perdana Menteri Inggris Winston Churchill di London juga dirusak dan dicorat-coret dengan tulisan "rasis." Sebelumnya, Churchill dipuji karena memimpin Inggris menuju kemenangan dalam Perang Dunia Kedua. 

Namun, bagi sebagian orang ia merupakan sosok yang sangat kontroversial. Sebagian karena pandangannya tentang ras. "Tak ragu bahwa Churchill rasis," kata Sejarawan yang menulis buku The Churchill Myths, Richard Toye. Toye mengatakan Churchill menganggap orang kulit putih superior secara eksplisit. 

"Dia membuat pernyataan tidak menyenangkan tentang orang-orang India yang katanya adalah orang-orang jahat dengan agama jahat. Dia juga mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan tentang orang-orang China," kata Toye. 

Penulis buku Churchill: The End of Glory, John Charmley dalam wawancaranya bersama BBC mengatakan Sang Perdana Menteri percaya akan hierarki rasial. Churchill percaya orang Kristen Protestan kulit putih rasnya lebih tinggi dari umat Katolik kulit putih. Sementara orang India menurutnya derajatnya lebih tinggi daripada orang Afrika. 

Monumen Melville

Selain di Inggris, sebuah Monumen Melville di Ibukota Skotlandia, Edinburgh turut menjadi sasaran gerakan antirasis. Monumen itu dicat dengan tulisan "George Floyd" dan "BLM (Black Lives Matter)". Pasalnya, bangunan itu dibuat untuk memperingati seorang politisi yang menunda penghapusan perbudakan.

Politisi tersebut bernama Henry Dundas. Ia adalah salah satu orang paling berpengaruh di engara tersebut pada abad 18 dan 19. Ia dijuluki "raja tak bermahkota".

Ribuan orang telah menandatangani petisi yang menyerukan agar monumen itu diturunkan. Sementara di tengah protes itu, para pejabat mengumumkan bahwa mereka akan menempelkan sebuah papan penjelasan mengenai rincian "reflektif" tentang kaitan kota itu dengan perbudakan.

"Kita perlu menceritakan kisah kita dan memastikan orang memahami peran Edinburgh di dunia secara historis. Bukan hanya bagian yang kita banggakan saja tetapi yang membuat kita malu juga," kata pemimpin Dewan Kota Edinburgh Adam McVey.

Raja Leopold II

Beralih ke Belgia, masyarakat di sana menyerukan agar patung-patung raja yang paling lama memerintah negara itu, Leopold II, agar dibongkar saja. Petisi daring sudah ditandatangani puluhan ribu orang. Sementara beberapa pengunjuk rasa anti-rasisme telah mengambil tindakan langsung. 

Patung raja era kolonial di kota Ghent ditutupi cat merah, dengan kain di atas kepalanya yang ditandai dengan kata-kata "I can't breath (aku tidak bisa bernafas)". Kata-kata yang dikatakan Floyd menjelang kematiannya. 

Di Antwerpen, patung raja lainnya dibakar oleh pengunjuk rasa dan kemudian dipindahkan oleh otoritas ke museum. Sedangkan di Ibukota Brussels, sebuah patung ditandai dengan kata "pembunuh".

Raja Leopold II memerintah Belgia dari tahun 1865 hingga 1909, hal yang paling diingat pada masanya yakni warisannya yang mengerikan di Republik Demokratik Kongo. Ia melanggengkan kerja paksa besar-besaran di sana dan meraup banyak kekayaan dari perdagangan karet. 

Mereka yang berani menentangnya, siap-siap berhadapan dengan timah panas. Jumlah kematian pada pemerintahannya diperkirakan mencapai 10 juta orang warga Kongo. Yang tak kalah kejam, ia juga menempatkan orang-orang Kongo ke dalam kebun binatang manusia di Belgia.

Robert E Lee

Sementara itu di Amerika Serikat yang menjadi sumber masalah, negara bagian Virginia telah merobohkan patung Jenderal Robert E Lee yang sebelumnya sudah dirusak massa saat unjuk rasa kasus George Floyd. 

Saat merobohkan monumen seberat 12 ton itu, Gubernur Ralph Northam mengatakan "Kami tidak lagi memberitakan sejarah versi palsu. Patung itu sudah lama berada di sana. Tapi itu adalah sebuah kesalahan masa lalu. Jadi kita merobohkannya."

Robert E Lee adalah seorang komandan Angkatan Darat Serikat Konfederasi yang pro-perbudakan --sebuah koalisi negara-negara selatan Amerika dalam Perang Sipil AS tahun 1861 hingga 1865. Lee juga menikahi salah seorang dari keluarga pemilik budak terkaya di Virginia. Dia juga sempat mendapat perlawanan dari para budak yang diharapkan akan dibebaskan.