Struktur Ekonomi Tak Konsisten Jadi Penyebab Indonesia Terjebak di Klasifikasi Negara Menengah ke Bawah

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa struktur ekonomi Indonesia yang tidak konsisten menjadi salah satu faktor Indonesia sulit mendongkrak pendapatan dan membuat Indonesia terjebak sebagai negara pendapatan menengah.

Penelit Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan bahwa ancaman jebakan ekonomi kelas menengah itu semakin dekat. Karena itu, kata dia, pemerintah perlu berupaya menjauh dari jebakan kelas menengah ini. 

World Bank atau Bank Dunia baru saja menetapkan kelas baru atau spesifik baru untuk menentukan status ekonomi negara. Terbaru, level upper middle income kisarannya antara 4.096 sampai 12.695 dolar per kapita.

"Jadi kalau misalnya tidak turun ke 3.879 artinya kita tetap 4.050 seperti tahun kemarin kita bisa turun juga ke lower middle income karena World Bank meningkatkan kisarannya dari 4.046 ke 4.096 dolar per kapita," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 13 Juli.

Lebih lanjut, Heri menjelaskan penyebab Indonesia terkesan cukup lama berada di zona middle income karena transformasi struktur ekonomi Indonesia yang tidak konsisten.

"Di sini ada inkonsistensi dalam transformasi struktur ekonomi. Tidak konsisten dalam strukturnya. Kalau kita lihat di sini, ini data tahun 2020, sektor industri kita tahu masih menjadi penopang meskipun tren turun kisarannya 19,7 persen terhadap PDB. Namun tenaga kerja yang bekerja di sektor industri jauh lebih rendah 14,09 persen," tuturnya.

Sebagai penopang utama perekonomian, kata Heri, sektor industri justru tidak memiliki cukup banyak SDM. Jika dilihat lebih dalam, menurut dia, tenaga kerja Indonesia masih bertumpu di sektor pertanian.

Lebih lanjut, kata Heri, hampir 30 persen tenaga kerja berada di sektor pertanian. Jika dilihat kontribusi terhadap PDB-nya, hanya sekitar 12,7 persen atau 13 persen. Artinya kue ekonomi yang relatif sedikit diperebutkan oleh banyak orang. Sehingga, masing-masing hanya kebagian sedikit.

"Jadi itu lah salah satu faktor sulitnya kita mendongkrak pendapatan per kapita. Karena masih banyak yang tidak terserap di sektor sekunder maupun tersier. Nah itu lah butuh kesiapan SDM, karena kita ada stagnasi dalam peningkatan skill tidak bisa menyesuaikan fenomena transformasi ekonomi sehingga yang terjadi seperti ini," ucapnya.

Sementara itu, kata Heri, jika melihat sektor-sektor jasa mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi berkisar 8 hingga 10 persen. Namun sektor ini menyerap tenaga kerja yang relatif lebih sedikit.

Seperti contoh sektor informasi dan telekomunikasi tenaga kerjanya sedikit tapi kuenya banyak. Sehingga, potongan kue ekonominya itu masing-masing dapat besar.

"Nah di sini lah yang tadi fenomena ketimpangan bisa terbaca dari sini. Jadi ada yang memperebutkan kue ekonominya kecil diperebutkan banyak orang, ada yang kuenya besar tapi diperebutkan sedikit orang. Ini lah salah satu faktor kenapa kita masih terjebak di kelas menengah," jelasnya.

Tak hanya itu, kata Heri, penyebab sulitnya mendongkrak pendapatan juga bisa dilihat dari pergeseran struktur ekonomi dalam dua dekade terakhir.

"Di mana sektor tersier semakin dominan terhadap ekonomi, tapi belum didukung SDM yang semestinya," tuturnya.