Bukan Tuntut Nia-Ardi Dipajang di Konpers, Adil Itu Menghentikan Kebiasaan Polisi Pajang Tersangka Narkoba
JAKARTA - Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie tersangka narkoba. Publik memprotes polisi tak 'memajang' keduanya dalam konferensi pers. Keadilan dipertanyakan karena polisi biasa menampilkan tersangka dalam konferensi pers serupa. Tuntutan soal keadilan ini benar. Tapi bukan untuk memajang Nia dan Ardi melainkan agar polisi menghentikan kebiasaan ini.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus telah menjelaskan alasan Nia dan Ardi tak ditampilkan. "Lagi tes rambut,” kata dia kepada wartawan, Kamis, 8 Juli. Sebelum kasus Nia dan Ardi, polisi memiliki semacam kebiasaan menampilkan para figur publik yang terjerat kasus narkoba.
Tak cuma dipajang. Mereka juga biasa diminta menyatakan permohonan maaf. Paling baru, Erdian Aji Prihartanto atau Anji. Rabu, 16 Juni, Polres Metro Jakarta Barat mengumumkan status tersangka Anji. Di hadapan media massa Anji meminta maaf karena mengonsumsi ganja.
"Pertama ucapan permintaan maaf kepada keluarga, kerabat, saudara, rekan-rekan kerja, pihak-pihak yang terkait pada saya dan juga seluruh masyarakat yang Indonesia yang kecewa dengan kejadian ini," tutur Anji.
Sebelum Anji ada aktor muda, Jeff Smith. Seperti Anji, Jeff Smith ditangkap karena kepemilikan dan konsumsi tanaman ganja. Yang terjadi dalam acara 'gelar maaf' ini menarik. Usai meminta maaf kepada keluarga dan orang-orang terdekat, Jeff Smith menyampaikan testimoni soal manfaat ganja.
Jeff Smith mengatakan pengklasifikasian ganja sebagai narkotika golongan I keliru. Jeff Smith juga mendorong otoritas merancang kebijakan pemanfaatan ganja, lewat penelitian terlebih dulu, pastinya. "Ganja tak layak dikategorikan narkotika golongan satu. Secepatnya Indonesia harus lakukan penelitian."
Menyoal 'gelar maaf' tersangka narkoba
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Iftitah Sari menjelaskan tak ada ketentuan hukum untuk polisi memajang tersangka dalam konferensi pers. 'Gelar maaf' yang sering kita lihat ini kebiasaan terbilang baru. Sebelumnya, polisi paling-paling menghadirkan tersangka dalam proses gelar perkara.
"Enggak ada aturannya sebenarnya untuk konpers gitu. Paling gelar perkara biasanya yang sering disebut. Itu pun sebenernya juga enggak ada aturannya di KUHAP. Itu cuma diatur di level peraturan kapolri (perkap) saja. Jadi aturan internalnya Polri," katanya kepada VOI, Jumat, 9 Juli.
Bahkan menurut Iftitah memajang tersangka seharusnya tak dilakukan karena bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah yang diatur KUHAP. Dalam beberapa kesempatan polisi tampak menyadari prinsip ini. Soal ketika kita melihat tersangka, meski dipajang diminta mengenakan tutup wajah.
"Malah secara prinsip harusnya enggak boleh 'mejeng' pelaku atau tersangka gitu karena jadi bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah ... Jadi prinsipnya pelaku atau tersangka itu harus dianggap tidak bersalah dulu sebelum ada putusan hakim yang menyatakan bersalah."
Lalu bagaimana dengan landasan perkap yang jadi aturan internal kepolisian sebagaimana dikatakan Iftitah? Ada semacam penyimpangan, menurut Iftitah. Menurutnya semua peraturan pelaksana soal hukum acara harusnya merujuk pada KUHAP.
Maka, tuntutan paling benar untuk keadilan sebagaimana didesak publik bukan membawa Nia dan Ardi ke hadapan pers. Apalagi untuk meminta maaf. Kebiasaan ini seharusnya dihentikan terhadap siapapun tersangka, khususnya kasus narkoba.
"Jangan sampai dianggap tebang pilih juga perlakuannya. Harus konsisten juga untuk pelaku atau tersangka tindak pidana lain," kata Iftitah.
Soal kenapa konteks kasus narkoba disorot dalam persoalan ini, Direktur Hukum dan Kebijakan Yayasan Sativa Nusantara Yohan Misero sempat menjelaskan bagaimana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika amat teliti mengatur posisi pelaku penyalahgunaan narkoba.
Dalam UU 35/2009, klasifikasi pengguna, bandar, kurir atau peran-peran lain amat dirinci. Untuk pengguna, UU 35/2009 memosisikan mereka sebagai korban. Maka dalam konteks ini asas praduga tak bersalah jadi lebih prinsipil untuk dijaga.
"Hal ini terlihat di banyak kasus. Nunung, Tora Sudiro, Lucinta Luna, Dwi Sasono, dan lain-lain. Hal ini tidak diwajibkan oleh hukum dan tidak boleh dipaksakan. Kami menilai kebiasaan ini patut untuk dihentikan," Direktur Hukum dan Kebijakan YSN Yohan Misero, dikutip VOI.
Asas praduga tak bersalah
Asas praduga tak bersalah diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP asas praduga tak bersalah dimaktub dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c.
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sementara, pada UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal itu berbunyi:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
[TULISAN SERI: JANGAN PANIK INI ORGANIK]
Lebih lanjut, buku Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan karya M. Yahya Harahap menjelaskan, “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek."
"Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
*Baca Informasi lain soal NARKOBA atau baca tulisan menarik lain dari Rizky Adytia Pramana dan Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga: