Ketika Harga Nyawa Elite Setara dengan Rakyat, Pentingkah RS Khusus Pejabat?
JAKARTA - Kasus harian COVID-19 dan angka kematian nasional terus menembus rekor tertinggi dalam beberapa hari terakhir. Dampaknya, banyak rumah sakit (RS) kolaps. Namun di tengah situasi krisis seperti ini, muncul sebuah usul luar biasa dari seorang pejabat. Katanya pemerintah perlu membuat rumah sakit khusus pejabat. Semoga saja ia tak mengira kalau harga nyawa pejabat lebih berharga dari rakyat biasa.
Hari ini, 8 Juli, angka harian COVID-19 kembali memecahkan rekor. Tercatat ada 38.391 kasus baru dengan 852 pasein meninggal dunia. Jumlah kasus Indonesia kini berada pada posisi ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan India.
Menggilanya kasus COVID-19, membuat fasilitas kesehatan lumpuh. Hampir setiap hari kita bisa menyaksikan dengan mudah di media sosial seseorang yang mencari informasi ketersediaan RS, baik untuk mengobati penyakit COVID-19 maupun penyakit lainnya.
Fauzi misalnya, seorang pegawai swasta di Jakarta ini bercerita kepada VOI betapa sulitnya mencari RS. Senin kemarin, Fauzi menceritakan budenya berkeliling mencari RS dari Jakarta sampai ke Depok.
Dari tujuh rumah sakit yang dikunjungi, semuanya menolak lantaran sudah dipenuhi pasien COVID-19. Budenya Fauzi tak menyerah. Sampai tiba di RS kedelepan di Depok, nyawanya tak tertolong.
"Semua nolak karena katanya full COVID-19... Meninggal kecapekan di RS kedelapan. Akhirnya dikubur di Depok di rumah anaknya, karena lebih dekat, sudah malam, dan PPKM Darurat pula," kata Fauzi kepada VOI.
Kolaps
Pengalaman yang sama ditolak RS juga dialami oleh kawannya Fauzi yang terpapar COVID-19. Meski sudah memanfaatkan relasi dengan kepala dinas kesehatan sampai walikota di Depok, namun ia tetap tak bisa mendapatkan akses.
"Sudah pakai channel kepala dinas kesehatan sampai walikota, tetap tidak bisa dapat perawatan di rumah sakit. Dia terpaksa isolasi mandiri di rumah seadanya sampai sekarang," kata Fauzi.
Bahaya COVID-19 memang tak pandang bulu. Kalangan menengah, atas, bawah semua kena dampaknya. Mau dari kalangan yang dekat dengan pejabat maupun masyarakat biasa, tak ada yang kebal dari ancamannya.
Selain pasien yang meninggal selama perawatan di rumah sakit, banyak masyarakat melaporkan kematian anggota keluarga atau rekan mereka di rumah saat menjalani isolasi mandiri. Menurut LaporCovid19 pada 3 Juli lalu, tercatat ada sedikitnya 265 pengidap COVID-19 yang meninggal saat sedang isolasi mandiri di rumah.
"Kami menemukan sedikitnya 265 korban jiwa yang meninggal dunia positif Covid-19 dengan kondisi sedang isolasi mandiri di rumah, saat berupaya mencari fasilitas kesehatan, dan ketika menunggu antrean di IGD Rumah Sakit. Kematian di luar fasilitas kesehatan ini terjadi hanya selama bulan Juni 2021 hingga 2 Juli 2021," tertulis.
Sebanyak 265 Korban jiwa tersebut tersebar di 47 Kota dan Kabupaten dari 10 Provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Lampung, Kepulauan Riau, Riau, dan NTT. LaporCovid19 menyebut fenomena ini merupakan potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan.
Pentingkah RS khusus pejabat?
Di tengah kondisi krisis kesehatan seperti ini, seorang pejabat partai malah membuat usulan dengan meminta pemerintah mendirikan RS khusus COVID-19 bagi para penjabat. Hal itu sontak memantik kritik masyarakat. Musababnya, harga nyawa pejabat dan rakyat sejatinya sama.
Usulan itu datang dari Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Rosaline Irine Rumaseuw. Gagasan itu ia dapatkan setelah berkaca dari pengalamannya yang sulit mencarikan tempat tidur RS bagi para pejabat.
"Saya sedih, (dalam) satu, dua bulan ini banyak membantu pejabat negara untuk refer ke rumah sakit yang ada di Jakarta, pemerintah lupa bahwa harus menyediakan fasilitas kesehatan buat pejabat negara," kata Rosaline dalam acara rilis survei Median.
Pernyataan itu sontak menuai banyak kritik. Salah satunya Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman. Menurutnya mengusulkan dibuatnya RS khusus pejabat di tengah situasi krisis seperti sekarang merupakan sebuah ketidakadilan.
"Bahwa dalam hal orang punya jabatan wajar kalau ada penanganan dari sisi tunjangan berbeda itu wajar. Namun dalam hal pandemi, tentu kalau usulan untuk spesifik khusus pejabat itu tidak menggambarkan kesetaraan ataupun keadilan," kata Dicky dihubungi VOI.
Menurutnya kita memang tak bisa menutup mata bahwa memang beberapa pejabat seperti kepala daerah dan presiden memang diberikan fasilitas lebih untuk layanan kesehatan ini. Namun hal itu bukan berarti harus membuat RS eksklusif untuk pejabat. "Kekhususan memang ada, tapi kalau terlalu vulgar begitu ya enggak bagus lah."
Lagi pula, menurut Dicky harga nyawa seorang manusia itu tak diukur dari kedudukannya. Menurutnya harga sebuah nyawa manusia itu setara. Sehingga tak boleh ada diskriminasi.
"Semua nyawa itu sama, tidak diukur dari kedudukannya. Kita harus menghargainya sesuai kesetaraan dalam menilai nyawa, sehingga tidak boleh ada diskriminasi. Ini menjadi tanggung jawab setiap level pemerintahan untuk mengutamakan kesehatan publik," pungkasnya.
*Baca informasi lain tentang COVID-19 atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Kerap Diseret soal Hukuman Ringan Pinangki, Siapa Jaksa Agung ST Burhanuddin Sebenarnya?
- Yang Terjadi pada Tubuh Pasien COVID-19 ketika Saturasi Oksigen Menurun dan Panduan Pertolongan Pertamanya
- Krisis Oksigen Medis: Bisakah Memanfaatkan Generator Nitrogen Ban Kendaraan untuk Menambah Suplai?
- Sepekan PPKM Darurat yang Krusial