Akhirnya Kemenkes Mengubah Indikator Data Zonasi COVID-19: Mengapa Akurasi Data Begitu Vital?
JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan mengubah indikator data zonasi COVID-19 berdasarkan jumlah kasus dalam satu wilayah menjadi berdasarkan positivity rate. Sengkarut data corona memang jadi salah satu faktor penghambat pengendalian pandemi. Lalu apakah dengan adanya perubahan ini akan membawa harapan terhadap pengendalian virus?
"Kita tidak akan melihat lagi dari merah kuning hijaunya berdasarkan kasus konfirmasi tapi berfokuskan positivity rate," kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR yang disiarkan virtual 5 Juli kemarin.
Kata Budi, perubahan itu diambil karena sistem pengetesan dan pelacakan (testing dan tracing) COVID-19 selama ini dinilai masih lemah. Ia mengungkapkan selama ini tak sedikit daerah yang mengakali sistem zonasi dengan menurunkan angka pengetesan.
"Karena testing ini dipakai penilaian suatu daerah, jadi seakan-akan semua daerah berebut nilai baik dengan cara tak membuka semua testing yang ada. Atau bahkan tak melakukan testing besar seperti seharusnya," kata Budi.
Selain itu, Budi mengatakan pemerintah bakal meningkatkan jumlah pengetesan COVID-19 hingga 400.000 tes per hari. Ia menjelaskan, meskipun saat ini angka tes Indonesia sudah melampaui standar WHO yakni 1/1000 penduduk per minggu atau sekitar 38.000 orang per hari, hal itu belum cukup. Musababnya, penyebaran varian delta ini begitu cepat.
Sementara itu, Budi menjelaskan strategi testing COVID-19 nantinya akan disesuaikan dengan masing-masing wilayah tergantung angka positivity rate di wilayah tersebut. Semakin besar positivity rate di sebuah daerah, maka semakin banyak tesnya. "Sehingga untuk daerah-daerah yang positivity rate-nya di atas 25 persen, kita minta 15 kalinya WHO."
Sengkarut data COVID-19
Karut marut data penanganan COVID-19 sebetulnya sudah terjadi sejak kasus corona muncul pada awal Maret tahun lalu. Ketidaksinkronan data terjadi lantaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum memiliki sistem data yang terintegrasi.
Tak adanya integrasi data di awal pandemi dan tersendatnya hasil laboratorium membuat pelacakan terhadap mereka yang berkontak dengan pasien positif berjalan lamban. Setelah melihat persoalan tersebut, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dipimpin Doni Monardo, meluncurkan sistem data terintegrasi bernama Bersatu Lawan Covid (BLC) pada 27 April 2020.
Menurut dua anggota staf di Gugus Tugas yang diwawancara Majalah Tempo pada masa awal pandemi mengatakan, lembaga itu tak kunjung memperoleh data detail tentang kondisi wabah corona. Padahal data itu diperlukan untuk memantau kondisi pandemi dan menentukan kebijakan pemerintah. Dua sumber tersebut mengatakan kondisi itu sempat membuat Gugus Tugas "bekerja dalam kondisi buta".
Sistem ini sempat berjalan baik. Musababnya, sistem ini membantu memangkas jalur pelaporan banyak pintu. Waktu tunggu hasil laboratorium juga bisa lebih cepat karena rumah sakit dapat langsung mengecek ke sistem.
Namun setelah beberapa pekan sistem ini berjalan, Kemenkes mengeluarkan surat edaran yang berisi perintah agar pelaporan data hasil laboratorium dilakukan di sistem milik Kemenkes, All Record. Menurut sumber Tempo di pemerintahan, Menkes Terawan Agus Putranto sempat mengontak Ketua Gugus Tugas Doni Monardo tak lama setelah sistem BLC berjalan.
Terawan kala itu meminta sistem pelaporan kembali di bawah Kemenkes. Juru bicara pemerintah untuk penanganan corona, Achmad Yurianto mengatakan persoalan data kesehatan merupakan tanggung jawab Kemenkes.
Ia menjelaskan bahwa Gugus Tugas adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan kalau tugasnya selesai. "Kalau bubar, siapa yang tanggung jawab soal data? Data harus tetap tersimpan karena dokumen negara," kata Yurianto.
Kekisruhan data penanganan corona pun sampai ke Istana. Masih menurut sumber Tempo, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali meminta Kemenkes dan lembaga lain memperbaiki data. Namun perbaikannya berjalan lamban. Puncaknya pada 18 Juni 2020, Jokowi menyentil Kemenkes dalam rapat kabinet. Jokowi mempersoalkan rendahnya penyerapan anggaran di Kemenkes yang baru terpakai 1,53 persen.
Sengkarut data itu masih berlanjut sampai akhirnya Menkes Terawan diganti Budi Gunadi Sadikin. Setelah sepekan dilantik Jokowi pada 23 Desember 2020, Budi langsung berjanji akan memperbaiki data COVID-19. Ia mengatakan tak akan ada lagi perbedaan data daerah dengan pusat.
Baru setelah lebih dari setahun menjabat, aksi memperbaiki data COVID-19 ini kembali berlanjut. Budi mengganti indikator data zonasi COVID-19.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, meski sudah sejak tahun lalu menyampaikan bahwa indikator zonasi harus merujuk positivity rate, tapi menurutnya tak ada kata terlambat. "Tak ada kata terlambat, karena sekarang saatnya memang sudah harus diperkuat semuanya. Yang jelas, konsistensinya dan komitnya," kata Dicky kepada VOI.
Pentingnya merujuk positivity rate
Dicky menjelaskan ada dua alasan penting mengapa indikator data zonasi harus merujuk positivity rate. Pertama, untuk melihat ketercukupan testing. "Kalau testing ya melihat jumlah kasus aja. Tapi enggak ketahuan cukup tidaknya testing di satu wilayah."
Namun bila merujuk positivity rate, kata Dicky, selain bisa melihat jumlah kasus penyebaran virus, juga bisa menunjukkan kualitas suatu upaya pencegahan penyebaran virus. "Kalau tes positivity rate tinggi, itu bukan hanya menunjukkan testingnya kurang, tapi juga berarti intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi juga masih kurang," jelasnya.
Selain itu, positivity rate juga memberikan kriteria untuk menentukan kebijakan pelonggaran kegiatan di suatu lokasi. "Makanya ini harus dijadikan dasar, karena positivity rate itu menggambarkan juga risiko paparan di suatu daerah. Semakin tinggi (positivity rate) di atas lima persen, risiko penularannya semakin tinggi," beber Dicky.
Dicky juga turut berpendapat bagaimana caranya mengantisipasi manipulasi data yang sempat disinggung Menkes Budi. Kata dia, selain menekan perangkat daerah, pusat juga harus memastikan setiap daerah punya target positivity rate secara global. Dan yang tak kalah penting yakni memberikan litarasi kepada daerah bahwa tes positivity rate itu penting demi pengendalian pandemi.
"Selain menekan, memastikan tiap daerah itu memiliki indikator atau target terhadap tes positivity rate secara global, juga memberikan literasi. Memberikan pemahaman pada daerah bahwa tes positivity rate itu sangat penting, yang akan menetukan bagaimana pengendalian ke depan," jelas Dicky.
Dan yang tak kalah penting, Dicky mengingatkan perlunya menanamkan pemahaman bahwa tes positivity rate itu bukan untuk menciptakan kasus, tapi untuk menemukannya. Sehingga, bila terjadi manipulasi data, maka yang akan rugi adalah diri sendiri.
"Harus benar melihat kasusnya. Melakukan testing dengan sejujurnya jadi kita tahu masalahnya. Sehingga kalau ada manipulasi, yang rugi diri sendiri. Harus dipahami kalau testing itu tidak menciptakan kasus tapi menemukan kasus," pungkasnya.
*Baca informasi lain tentang COVID-19 atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Kerap Diseret soal Hukuman Ringan Pinangki, Siapa Jaksa Agung ST Burhanuddin Sebenarnya?
- Yang Terjadi pada Tubuh Pasien COVID-19 ketika Saturasi Oksigen Menurun dan Panduan Pertolongan Pertamanya
- Krisis Oksigen Medis: Bisakah Memanfaatkan Generator Nitrogen Ban Kendaraan untuk Menambah Suplai?
- Sepekan PPKM Darurat yang Krusial