Sore Sakit Pagi Mati, Pagi Sakit Sore Mati: Mematikannya Flu Spanyol di Yogyakarta

JAKARTA - Mewabahnya flu Spanyol adalah cerita kelam peradaban manusia. Virus Influenza tipe A subtipe H1N1 merenggut 21 hingga 50 juta jiwa di seluruh dunia. Dampak bahayanya Flu Spanyol sampai Indonesia, termasuk Yogyakarta, yang hancur-hancuran dilanda flu Spanyol.

Gelombang wabah itu membuat daerah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta remuk redam. Harapan hidup rakyat Yogyakarta menurun. Pun pagebluk itu melanggeng istilah mengerikan: esuk lara sore mati, sore lara esuk mati (pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati).

Kasus Flu Spanyol yang paling awal dalam sejarah bersumber di lokasi latihan militer di Kamp Funston, Kansas, Amerika Serikat (AS) pada 5 Maret 1918. Akan tetapi, virus itu tak dianggap berbahaya. Dokter setempat menganggapnya sebagai flu biasa.

Nyatanya, hal itu salah besar. Virus influenza yang diderita prajurit di kamp Funston lebih ganas dan cepat menular. Buktinya, pada akhir bulan Maret, 1.000 tentara AS –38 di antaranya meninggal dunia— terjangkit virus Influenza jenis baru.

Warga San Fransisco melindungi diri dengan masker saat Flu Spanyol merebak (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Meski begitu, otoritas Kamp Funston belum menaruh kecurigaan lebih. Virus dengan cepat menyebar seiring terjadinya Perang Dunia I yang mengharuskan tentara dari kamp Funston keluar kandang. Mereka menyebar di beberapa wilayah Eropa untuk berperang.

Setelahnya virus menyebar ke Prancis, Portugal, dan Spanyol. Lantaran kondisi perang hampir tak ada media massa yang mewartakan keberadaan virus influenza tersebut. Adapun media masa yang mewartakannya hanya media Spanyol. Dari situlah flu tersebut dikenal sebagai flu Spanyol.

“Virus menyebar seiring dengan pergerakan para tentara ke Prancis, lalu ke Portugal dan Spanyol. Situasi perang membuat wabah yang mulai menyebar aini disensor dari media massa. Hanya Spanyol, negara netral dengan pers terbuka, yang memberitakan pandemi influenza dengan besar-besaran."

"Karena itulah nama flu Spanyol menempel pada penyakit ini, meski orang Spanyol sendiri lebih suka menyebutnya flu Prancis,” ungkap Moyang Kasih Dewi Merdeka dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul 1918-1919: Seperti Rumput Kering yang Tersulut Api (2020).

Tak Cuma itu. Ragam versi lain turut menyebut flu Spanyol bukan berasal dari Amerika, melainkan Swedia atau Rusia. Semua anggapan itu semakin menambah misteri awal mula kehadiran Flu Spanyol yang diperkirakan telah menjangkiti lebih dari 500 juta orang di dunia.

Angka itu setara populasi dunia kala itu. Mereka yang termasuk kelompok rentan tertular Flu Spanyol dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, penderita usia balita. Kedua, usia 20-40 tahun. Ketiga, usia di atas 65 tahun.

Fakta yang paling mencengangkan adalah bahwa flu Spanyol dapat merenggut nyawa lebih banyak daripada Perang Dunia I. Korban dari flu Spanyol berada dalam angka 21-50 juta jiwa manusia.

Sementara, Perang Dunia, dalam catatan resmi menyebutkan korbannya sebanyak 9,2-15,9 juta jiwa manusia. Untuk itu, flu Spanyol menjadi flu paling mematikan dalam sejarah dunia.

Menyebar ke Hindia-Belanda

Flu Spanyol dengan cepat menyebar hingga Asia. Di Hindia-Belanda (Indoensia), Flu Spanyol diduga dibawa oleh imigran China yang berlayar ke Nusantara Melalui Hongkong. Sulit dikendalikan, flu Spanyol menyebar ke kota-kota pelabuhan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.

“Wabah influenza yang melanda Hindia-Belanda, khususnya yang menyerang paling parah di Pulau Jawa, antara pertengahan tahun 1918, sampai pertengahan tahun 1919 merupakan sebuah fenomena penting dalam sejarah kesehatan, negeri ini."

"Tingginya jumlah korban, baik yang tertular maupun meninggal dan pesatnya penyebaran flu ini membuktikan bahwa wabah influenza merupakan fenomena internasional dan bukan masalah local Hindia-Belanda,” ujar Ari Rukmantara dan Wahyuning Irsyam dalam buku Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia-Belanda (2020).

Suasana perawatan pasien flu Spanyol (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Penyebaran yang cepat dari Flu Spanyol disebabkan karena tak siapnya pemerintah kolonial Belanda melawan wabah. Dokter-dokter Eropa bahkan sempat menganggap remeh Flu Spanyol dengan menyebut flu yang mewabah jauh lebih ringan dibandingkan flu pada umumnya.

Penyataan itu kemudian segera dikutip koran-koran di Hindia-Belanda. Puncaknya, kekeliruan juga dialami oleh Burgelijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Hindia-Belanda) yang menyebut flu Spanyol sama seperti kolera. Korban pun berjatuhan hingga mencapai 1,5 hingga 4,3 juta jiwa.

“Selanjutnya, atas rekomendasi Dinas Kesehatan Hindia-Belanda, diadakanlah vaksinasi kolera besar-besaran di sejumlah daerah. Terang saja tindakan ini sama sekali tak menyelesaikan masalah. Korban terus. berjatuhan. Di sini terlihat jelas pemerintah kolonial berupaya menjaga kéamanan dan ketertiban (rust en orde) di negeri jajahannya,” tulis Ravando Lie dalam buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi (2020).

Flu Spanyol di Yogyakarta

Boleh jadi tidak ada literatur pasti yang menyebut spesifik berapa korban flu Spanyol di Yogyakarta. Tapi, melihat dampak flu Spanyol di Yogyakarta, jumlahnya cukup besar.

Pelayanan kesehatan yang tak merata jadi penyababnya. Apalagi saat itu banyak dokter Eropa enggan bersentuhan dengan pasien bumiputra. Akibatnya korban banyak berjatuhan.

“Adanya wabah penyakit yang sangat mengerikan itu berakibat pula di Daerah Kasultanan Yogyakarta ini mengalami kekurangan beras, sehingga perlu mendatangkan beras dari luar, yang selanjutnya dibagi-bagi kepada penduduk."

"Pelaksanaan pembagian beras itu mengambil tempat di Masjid Besar Yogyakarta, sehingga beras pembagian tadi terkenal dengan istilah beras masjid,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta (1977).

“Memang pada saat itu di muka masjid tersebut ada tempat menyimpan beras yang akan dibagikan kepada penduduk. Dengan adanya pembagian beras itu benar-benar rakyat dapat menikmati makan nasi yang pada waktu itu sangat sulit dicari. Untuk masyarakat Yogyakarta masa itu terkenal sekali dengan istilah jaman kabluk (Jawa).”

Sebagai inisiatif melakukan perlawanan terhadap wabah, pihak Kesultanan Yogyakarta tak luput melakukan ritual khusus yang dipercaya dapat menangkal penyebaran Flu Spanyol. Ritual pengusiran dilakukan dengan mengarak benda pusaka keratin mengelilingi kota Jogyakarta.

Satu pusaka yang diperlakukan paling mewah kala itu adalah Panji Kyai Tunggul Wulung. Bendera Kyai Tunggul Wulung merupakan salah satu pusaka Kraton Yogyakarta yang dianggap paling suci.

Bendara itu diaykini dibuat dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad SAW. Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kyai Slamet. Pun arak-arakan diyakini oleh rakyat Yogyakarta dapat membuat laju penularan Flu Spanyol berhenti.

“Kali sebelumnya kedua pusaka itu diarak adalah ketika wabah influenza menyerang pada 1918 dan keyakinan umum adalah bahwa wabah itu berhenti karena pengarakan pusaka-pusaka tersebut. Sebelumnya, Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak pada 1892 dan 1876, juga ketika wabah menyerbu kota,” tutup Merle Calvin Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa (2013).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

 MEMORI Lainnya