Buruh Minta Ida Fauziyah, Airlangga, dan Agus Gumiwang Jamin Tidak Ada Ledakan PHK Imbas Berlakunya PPKM Darurat Jawa-Bali
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan buruh Indonesia mendukung langkah-langkah pemerintah untuk menekan angka pandemi COVID-19 melalui kegiatan PPKM Darurat Jawa-Bali. Namun, serikat buruh meminta pemerintah menjamin tidak ada ledakan pemutusan hubungan kerja atau PHK imbas dari berlakunya aturan baru tersebut.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja, Menko Perekonomian, dan Menteri Perindustrian harus memastikan berlakukan PPKM Darurat tidak menyebabkan buruh dirumahkan. Termasuk, kata Iqbal, adanya pemotongan gaji dan terlebih lagi jangan sampai ada ledakan PHK.
"Harus disadari, tidak hanya dampak kesehatan yang kita hadapi. Tetapi juga akibat negatifnya bisa berdampak pada ekonomi," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Kamis, 1 Juli.
Berkaca pada awal terjadinya pandemi, kata Iqbal, banyak buruh yang dirumahkan dan kemudian kehilangan pekerjaan. Akibatnya daya beli buruh akan turun, yang berdampak pada menurunnya konsumsi.
Lebih lanjut, Iqbal mengatakan, menurunnya konsumsi akan berakibat pada pertumbuhan ekonomi yang negatif. Jika ini terjadi, kata dia, maka resesi akan semakin panjang. Karena itu, Iqbal juga meminta subsidi upah untuk dilanjutkan seiring dengan berlakunya PPKM Darurat Jawa-Bali pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021.
"Kami meminta bantuan subsidi upah dilanjutkan kembali. Bagi perusahaan yang mampu, harus membayar upah secara penuh dan tidak dipotong," ucapnya.
KSPI minta pengusaha bayar pesangon jika terjadi PHK
Jika PHK tak bisa terelakkan imbas dari berlakunya PPKM Darurat Jawa-Bali, kata Iqbal, KSPI meminta agar perusahaan yang melakukan pemutusan kerja untuk membayar pesangon kepada pekerjanya. Namun tidak mengacu pada Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Kalau kemudian terjadi PHK, kami meminta pengusaha membayar pesangon tidak menggunakan omnibus law UU Cipta Kerja, tetapi menggunakan aturan lama seperti yang diatur dalam PKB atau UU No 13 Tahun 2003," jelasnya.
Menurut Iqbal, bukan tidak mungkin PPKM darurat ini akan berdampak PHK besar-besar seperti kasus Giant.
"Terutama terhadap perusahaan retail, logistik, perhotelan, transportasi, makanan, tekstil, komponen elektronik, hingga komponen otomotif," ucapnya.
Lebih lanjut, Iqbal mengatakan Omnibus Law bukan jawaban terhadap ancaman ledakan PHK di tengah pandemi yang kian meningkat. Karena itu, pihaknya meminta agar omnibus law UU Cipta Kerja segera dicabut.
"Kami bersama pemerintah siap berjibaku untuk menurunkan COVID-19 mendukung langkah pemerintah memberlakukan PPKM darurat dengan mempertimbangkan efek kesehatan dan ekonomi," ucapnya.
Perusahaan harus sediakan fasilitas prokes
Iqbal meminta kepada buruh di seluruh Indonesia untuk mengikuti protokol kesehatan dan mengikuti arahan pemerintah selama pemberlakuan PPKM. Dalam kaitan dengan itu, pengusaha harus menyediakan segala fasilitas terkait protokol kesehatan.
Baca juga:
- Buruh Sebut Pemberian THR Pekerja Outsourcing Tak Sesuai Aturan, Ini Penjelasan PLN
- PPN Sembako, Buruh ke Sri Mulyani: Jangan Berlagak seperti Penjajah, Beli Mobil Dipermudah, Makanan Rakyat Kecil Dipajaki
- Kabar Gembira dari Ida Fauziyah: Perselisihan Indomaret Milik Konglomerat Anthony Salim dan Buruh Berakhir Damai
- DAMRI Diduga Tak Bayar Gaji hingga Kurangi THR, KSPI Bakal Gelar Mogok Nasional
"Perusahaan harus menyediakan masker, hand sanitizer, tempat cuci tangan, dan pemberlakuan jarak agar tidak terlalu mendekat saat berlangsungnya proses produksi, makan siang, tempat ibadah di lingkungan perusahaan dan tempat parkir," tuturnya.
Sementara bagi perusahaan yang tidak mampu, kata Iqbal, pemerintah daerah dan pusat wajib memberikan bantuan untuk menyediakan alat untuk memenuhi protokol kesehatan secara gratis.
Fakta di lapangan, angka kematian dan penderita COVID-19 di klaster buruh dan keluarganya terus meningkat. Kata Iqbal, hal ini menjadi persoalan mendasar, akan mendahulukan aspek kesehatan atau ekonomi.
Lebih lanjut, Iqbal mengatakan biasanya ketika buruh diketahui terpapar COVID-19 di lingkungan perusahaan, buruh cenderung diminta melakukan isolasi mandiri di rumah. Mereka tidak melapor ke Satgas setempat. Karena jika ini dilakukan, akan dilakukan penutupan sementara perusahaan selama 10 sampai 14 hari.
"Perusahaan keberatan dengan dilakukan penutupan sementara," ujarnya.
Maka agar jangan sampai ditutup, kata Iqbal, perusahaan yang buruhnya terpapar COVID-19 cenderung tidak mau mengumumkan. Akibatnya, buruh yang melakukan isolasi mandiri di rumah menularkan kepada keluarga. Inilah yang menjelaskan klaster pabrik sekarang merambah ke klaster keluarga.
Dalam sebulan ini, kata Said Iqbal, dari laporan yang diterima KSPI, di wilayah Jabodetabek saja setidaknya 15 orang buruh meninggal dunia.
"Kami meminta agar buruh yang terpapar COVID-19 dan harus melakukan isolasi mandiri, perusahaan dan pemerintah memberikan obat-obatan dan perawatan yang secukupnya secara gratis," tuturnya.