Sepuluh Tahun HUT Bhayangkara Tanpa Kehadiran Polisi Jujur Hoegeng

JAKARTA - Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah legenda dalam sejarah Bhayangkara. Keberanian “Sang Polisi Jujur” mengkritik pemerintahan Orde Baru (Orba) telah kesohor. Namun, Hoegeng sempat diboikot dari perayaan Hari Ulang Tahun Bhayangkara. Tak tanggung-tanggung. Sepuluh tahun.

Hoegeng jadi salah satu keresahan terbesar Soeharto. Keterlibatan Hoegeng dalam berbagai gerakan kritisme terhadap Orde Baru --termasuk keanggotaannya di kelompok Petisi 50-- membuat Soeharto perlahan-lahan mematikan langkah Hoegeng.

Acara Hoegeng di radio dan televisi dihentikan. Gerak-geriknya dibatasi. Bahkan yang paling menyakitkan bagi mantan Kapolri itu, ia dilarang hadir di HUT Bhayangkara sejak 1987 sampai 1996. Meski seremonial, HUT Bhayangkara kehilangan abdi panutannya.

Gebrakan-gebrakan besar yang dilakukan Hoegeng tak saja banyak menangkap pelaku kriminal. Banyak pejabat korup di pemerintahan Orba yang gerah. Upaya menyingkirkan Hoegeng secara halus pernah dilakukan lewat tawaran menjadi Duta Besar (Dubes) Swedia dan Belgia.

Semuanya ditolak Hoegeng. Satu-satunya jalan-jalan keluar yang diberikan oleh Soeharto kepada Hoegeng adalah untuk berhenti menjadi Kapolri. Pilihan itu diambil oleh Hoegeng pada 2 Oktober 1971. Di awal masa pensiunnya sebagai Kapolri, Hoegeng sempat menikmati ragam aktivitasnya sebagai seniman: melukis dan bernyanyi.

Namun di sela-sela aktivitas itu Hoegeng geram dengan korupsi yang semakin merajalela. Ia lalu aktif memberikan kritik kepada Orba. Tindakan itu adalah hal berbahaya karena konsekuensinya yang cukup besar. Hoegeng tak takut.

Jenderal Hoegeng semasa jabat Kapolri (Sumber: Perpusnas.go.id)

Ia terus mengkritik Orba dan pimpinannya, Soeharto. Hoegeng kemudian bergabung dengan kelompok yang aktif memberikan kritik terhadap Orba, seperti Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) dan kelompok Petisi 50.

“Pemerintahan yang bersih harus mulai dari atas. Seperti orang halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala,” ucap Hoegeng dikutip Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).

Kritik demi kritik membuat Soeharto berang. Seluruh anggota dari kelompok Petisi 50, termasuk Hoegeng dianggap musuh politik. Dalam artian, musuh politik itu harus segera dibasmi, disingkirkan, dan segera dilumpuhkan. Adapun opsi yang diambil oleh Soeharto ialah memberikan “hukuman kematian perdata.”

Hukuman itu kemudian mulai dirasakan Hoegeng saat acaranya The Hawaiian Seniors di TVRI berhenti tayang dan diganti dengan acara musik nasional. Penghentian acara itu beralasan karena pemerintah ingin mengurangi pengaruh budaya barat.

Padahal, alasan sebenarnya karena Hoegeng terlibat dalam kelompok Petisi 50. Selain acara di TVRI, acara siaran musik Hoegeng di Radio Elshinta juga ikut-ikutkan dihentikan pemerintah Orba.

“Gara-gara saya menandatangani Petisi 50 juga maka siaran musik Hawaiian kami lewat Radio Elshinta dihentikan. Begitupun program yang dipercayakan pada saya, Little Thing Mean a Lot, semacam wawancara di corong radio tentang berbagai topik dengan orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu,” ujar Hoegeng dikutip Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Murka Soeharto

Presiden ke-2 RI Soeharto (Sumber: Commons Wikimedia)

Cara Soeharto mematikan langkah Hoegeng bahkan masuk ranah personal. Ketika sahabatnya Soemitro Djojohadikoesoemo akan menikahkan anaknya, Prabowo Subianto dengan Putri Soeharto, Siti Hediati Harijadi (Titiek), Hoegeng telah siap-siap menjadi saksi.

Permintaan menjadi saksi pernikahan itu langsung diminta oleh Soemitro sendiri karena keduanya telah bersahabat lama. Namun itu urung terjadi. Mantan Gubernur Jakarta 1966-1977 Ali Sadikin dalam bukunya yang ditulis Ramadhan K.H. berjudl Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995), menyebutkan saat niatan Soemitro didiskusikan pada Soeharto, The Smiling General menolak mentah-mentah ide menjadikan Hoegeng sebagai saksi.

Soemitro pun langsung melaju ke kediaman Hoegeng. Bapak dari Prabowo kemudian dengan berat hati mengatakan cita-cita lamanya menjadikan Hoegeng sebagai saksi pernikahan anaknya berantakan. Soeharto tidak menghendaki kehadiran Hoegeng.

Meski begitu, Hoegeng memahami betul alasan dirinya tak boleh hadir. Pun hal itu sudah biasa bagi Hoegeng yang telah mantap tergabung dalam kelompok Petisi 50. Namun, perseteruan antara Soeharto dan Hoegeng semakin menjadi-jadi pada 1987.

Dilarang hadir di HUT Bhayangkara

Jenderal Hoegeng semasa jabat Kapolri (Sumber: Perpusnas.go.id)

Kala itu Hoegeng, yang mantan Kapolri dilarang menghadiri HUT Bhayangkara ke-42 pada 1 Juli 1987. The Singing General itu mendapatkan satu memo yang melarang dirinya untuk ikut hadir di dalam upacara. Di dalam memo tersebut menyebutkan ada satu tokoh yang tak menghendaki kehadirannya.

Hoegeng sedih. Putranya, Aditya Soetanto yang akrab disapa Didit bercerita ayahnya telah mempersiapkan segala sesuatu demi dapat menghadiri acara hari Bhayangkara, termasuk membatalkan menjadi saksi pernikahan salah seorang anggota keluarga.

”Saya lihat begitu kecewanya beliau. Saya sungguh bisa merasakan bagaimana perasaan beliau saat itu. Sedih banget. Sedih banget karena beliau sangat cinta dengan institusinya. Sangat cinta,” ucap Didit dikutip Nikolaus Harbowo dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Hoegeng, yang ”Ditinggal” di Hari Bhayangkara (2020).

Sejak saat itu Hoegeng tak pernah diundang lagi dalam Hari Besar Polri. Tercatat, sepuluh tahun Hoegeng tak menghadiri HUT Bhayangkara. Satu dekade berselang, pada 1997, Hoegeng baru mendapatkan undangan kembali untuk mengikuti HUT Bhayangkara. Undangan itu secara spesial diantar langsung oleh Kapolri Dibyo Widodo (1968-1998).

Kedatangan Dibyo Widodo laksana angin segar bagi Hoegeng. Lantaran selain menyampaikan undangan, Kapolri itu juga menghadiahi Hoegeng sebuah mobil Mitsubishi Lancer warna perak bernomor B733DW. Hoegeng pun menerimanya karena hadiah tersebut adalah bentuk apresiasi Polri atas dedikasi Hoegeng sebagai Kapolri pertama lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Hoegeng langsung Semringah.

“Seminggu sebelum perayaan Hari Bhayangkara, datang utusan Kapolri untuk mengukur baju seragam untuk Hoegeng. Dan Hoegeng pun datang menghadiri upacara Hari Bhayangkara di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok. Ia datang menggunakan mobil baru hasil pemberian Dibyo Widodo. Peristiwa ini adalah yang pertama setelah Kapolri dijabat Anton Sudjarwo,” tutup Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya