Sejarah Dosen Membangun Peradaban Lewat Perguruan Tinggi: Dari STOVIA hingga Kisah Soekarno

JAKARTA - Sekolah Dokter Djawa adalah pelopor perguruan tinggi di Indonesia. Dari sanalah sejarah profesi dosen dikenal di Tanah Air. Kampus yang kemudian berganti nama menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1899 itu juga mempelopori pergerakan nasional.

Berkat STOVIA, istilah dosen populer di perguruan tinggi seluruh pelosok negeri. Dosen jadi perantara dalam kemajuan bangsa. Pun Soekarno mengakui pentingnya dosen sebagai pembentuk mentalitas bangsa merdeka.

Sedikitnya dokter Eropa yang mau terjun langsung menangani wabah-wabah penyakit di pelosok negeri menjadi salah satu alasan berdirinya Sekolah Dokter Djawa pada 1851. Sekolah ini diinsiasi langsung oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kaum bumiputra.

Sekolah Dokter Djawa pertama kali berdiri di Weltevreden, Batavia. Penerimaan mahasiswa kala itu masih terbatas kepada mereka yang berasal dari Jawa. Adapun mereka yang menjadi tenaga pengajar disebut dosen. Di situlah pertama kali istilah dosen kesohor.

Penyebutan dosen bukan tanpa alasan. Kata dosen berasal dari bahasa Belanda ‘docent’ yang berarti guru. Kemudian, kata Belanda itu diserap menjadi bahasa Indonesia menjadi "dosen". Kata itu berarti tenaga pengajar pada perguruan tinggi.

Istilah itu makin langgeng dikenal sejak dokter Belanda, H.F. Roll mentransformasikan Sekolah Dokter Djawa menjadi STOVIA pada 1899.  Bersamaan dengan itu, STOVIA mulai menerima murid dari luar pulau Jawa. Antara lain murid dari Minangkabau, Celebes (Sulawesi), dan Sumatra.

H.F. Roll mengajar di STOVIA (Sumber: geheugen.delpher.nl)

“Menjelang akhir abad ke-19, Sekolah Dokter Djawa ditransformasikan ke dalam STOVIA. Siapa yang melihat gambar para siswa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA pada tahun-tahun permulaannya akan tertarik oleh busana para siswa. Mereka berpakaian tradisional Jawa, baju, kain, blangkon, dan kaki telanjang,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).

Penggunaan pakaian tradisional bagi peserta ajar diakui pemerintah kolonial sebagai bagian dari strategi mendekatkan diri kepada rakyat. Terutama, supaya lulusan STOVIA ke depan selalu merasa dekat alias mendapatkan kepercayaan dari rakyat Hindia.

Akan tetapi, hal yang sama tak berlaku kepada dosen-dosen di STOVIA. Sederet dosen tetap berpakaian khas orang Eropa dengan celana panjang, jas, dasi, beserta dua pena terselip di saku jasnya.

Meski begitu, hubungan dosen dan mahasiswa tetap terawat. Satu waktu mereka berseberangan. Di lain waktu mereka saling menghargai. Ambil contoh ketika mahasiswa STOVIA Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Boedi Oetomo.

Kala itu sebagian dosen STOVIA risau dibuatnya. Sebab, gerakan yang dimunculkan Soetomo dan kawan-kawan memiliki potensi untuk melawan pemerintah kolonial. Apalagi, Soetomo masih berada dalam pengawasan dan didikan mereka.

Civitas Akademika di Stovia (Sumber: Commons Wikimedia)

"Ketidakberhasilan mereka 'membina' Soetomo dan kawan-kawannya di jalur yang dikehendaki pemerintah bisa jadi akan membuat mereka tampak salah pada pandangan pemerintah. Kondisi yang membuat posisi mereka menjadi runyam," tulis Gamal Komandoko dalam Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa (2008).

Alhasil, para dosen di STOVIA memiliki niatan untuk mengeluarkan Soetomo dari kampus tersebut. Beruntung, Soetomo dibela oleh mahasiswa dan dosen STOVIA lainnya. Direktur STOVIA H.F. Roll jadi yang paling berperan.

H.F. Roll yang dikenal berpandangan luas dan memiliki sumbangsih besar bagi kemajuan bangsa lewat STOVIA langsung menolak gagasan itu. Sebagai bentuk simpatinya kepada Soetomo, H.F. Roll mengatakan mereka yang beride mengeluarkan Soetomo seperti tak pernah idealis saat muda.

"Tidak adakah seorang pun di antara Anda sekalian yang hadir di sini yang seradikal seperti Soetomo ketika Anda berumur 18 tahun?" teriak pria yang akrab disapa mahasiswa STOVIA Bapa Roll.

Hubungan istimewa Soekarno dan dosennya

Proklamator, Soekarno (Sumber: Commons Wikimedia)

Kisah istimewa hubungan dosen dan mahasiswa tak Cuma hadir di STOVIA. Soekarno muda yang mengenyam pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool Bandung (THB) juga mengalaminya.

Ia mengaku kagum dengan dosennya yang sering disebut mahaguru, Prof. Ir. Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker. Pandangan Schoemaker banyak membentuk kepribadian Soekarno, terutama perkara kemanusiaan dan antikolonialisme. Begitu juga perkara Arsitektur, seni, dan wanita cantik.

“Di kampus, dia dikenal dekat dengan kelompok kecil mahasiswa pribumi yang memulai aktivitas nasionalis. Di antaranya Sukarno, salah satu mahasiswanya yang paling cemerlang. Selain aktivitasnya sebagai arsitek dan akademikus, Schoemaker aktif dalam berbagai organisasi seni."

"Di antaranya Bandung Art Circle. Schoemaker juga dikenal sebagai pematung dan pelukis. Salah satu karya patungnya yang terkenal adalah Monumen De Groot, yang dibangun di Taman Citarum, Bandung. Saat ini monumen itu sudah digantikan dengan bangunan masjid dan Sekolah Istiqomah,” pungkas Amandra M. Megarani dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Tiga Agama Schoemaker (2016).

Sebagai dosen yang memiliki wawasan terbuka, Schoemaker laksana seorang sahabat bagi Bung Karno. Soekarno kerap mendatangi rumah Schoemaker untuk belajar dan berdiskusi. Saking dekatnya, pada satu waktu Soekarno membutuhkan uang untuk perjuangan, Schoemaker rela berbagi pekerjaan dengan Soekarno.

Dalam pada itu, Soekarno secara terbuka menceritakan mimpinya kepada Schoemaker jikalau dia ingin membangun sebuah rumah besar, yaitu Indonesia. Hubungan baik itu terus berlanjut. Antara lain mereka berdua kerap berkirim surat pesan dukungan ketika Soekarno dipenjara dan diasingkan.

Kendati demikian, ada pula masa keduanya berseberangan satu sama lain. Namun, hal itu tak menyembunyikan fakta bahwa keduanya saling mengagumi satu sama lain. Bahkan, Soekarno sempat membalas budi kepada Schoemaker dengan jadi juru selamat ketika sang dosen eksentrik itu ditahan oleh Jepang.

Selepas Indonesia merdeka dan Seokarno telah mewujudkan mimpinya membangun Indonesia pun begitu. Keduanya sering kali berkirim surat. Antara lain bercerita banyak hal dari pekerjaan, arsitektur, Islam dan masalah pribadi. Sekalipun Shoemaker meninggal dunia terlebih dahulu pada 22 Mei 1949, persahabat kedua tetap abadi.

Soekarno kemudian merancang sebuah nisan sebagai penghormatan terakhir kepada sang guru. Nisan itu kini berdiri tegak di Ereveld Pandu, Bandung. Semua itu membuktikan bahwa pendidikan dan bakti kepada mahaguru dapat membukakan jalan kepada banyak hal.

“Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolff Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang,” cerita Soekarno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya