Mahasiswa Dihadapkan Tantangan Besar, tapi Mahasiswa juga Punya Banyak Alasan untuk Melawan

JAKARTA - Kritik BEM UI terhadap Presiden Jokowi direspons dengan pemanggilan oleh rektorat. Banyak fakta yang kita pahami dari sini. Satu hal yang pasti adalah intelektual mahasiswa menghadapi tantangan besar. Tapi mahasiswa juga punya banyak alasan untuk melanggengkan perlawanan.

Semua berawal dari unggahan meme dan ilustrasi visual Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Satu narasi besar dari kampanye media sosial itu, BEM UI menyebut Jokowi 'The King of Lip Service".

Ada beberapa dasar dari kritikan itu. Pertama pernyataan Jokowi yang pernah bilang dirinya rindu didemo. Kata Jokowi, sebuah pemerintahan butuh dikritik, termasuk lewat demonstrasi. Jokowi mengatakan itu ketika masih menjabat Wali Kota Solo. Lalu apa yang terjadi ketika demonstrasi betul dilakukan?

BEM UI menyinggung berbagai aksi represif yang dilakukan aparatur negara di bawah pemerintahan Jokowi terhadap massa dalam banyak aksi unjuk rasa. Demonstrasi Omnibus Law Cipta Kerja, aksi dalam Hari Buruh 2021, hingga Hari Pendidikan Nasional 2021 dan protes massa terhadap revisi UU KPK.

Jokowi juga dikritik atas responsnya terhadap upaya-upaya pelemahan KPK. Jokowi kerap menyatakan dukungan pada KPK, ketika di waktu yang sama juga melegitimasi revisi UU KPK yang dianggap melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Dasar-dasar itulah yang diangkat BEM UI.

BEM UI turut memuat daftar pustaka dan referensi yang mendukung kritikan mereka, termasuk artikel MEMORI berjudul Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY dan Berlanjut sampai Jokowi. "Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan (Jokowi) tidak lebih dari sekadar bentuk 'lip service' semata," tulis BEM UI dalam keterangannya.

"Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya. Tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya."

Teguran dari rektorat

Merespons kritik itu, rektorat UI memanggil sejumlah pengurus BEM. Kabar ini ramai setelah beredarnya surat pemanggilan bernomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021. Surat itu ditandatangani Direktur Kemahasiswaan UI Tito Latif Indra.

Pertemuan dilakukan di ruang rapat Ditmawa lantai 1 pada hari libur, Minggu, 27 Juni pukul 15.00 WIB. Ada sepuluh mahasiswa yang dipanggil. Rektorat UI menyebut BEM telah melanggar aturan. Rektorat juga menyampaikan pandangan mereka bahwa Jokowi adalah simbol negara.

Gedung Rektorat UI (Sumber: ui.ac.id)

"Selama menyampaikan pendapat, seyogianya harus menaati dan sesuai koridor hukum yang berlaku," ungkap Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia tanpa merinci aturan mana yang dilanggar BEM UI, dikutip Kompas.com.

Alasan ini dianggap mengada-ada. Presiden bukanlah simbol negara sebagaimana klaim rektorat UI. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengatur sejumlah hal terkait "simbol negara" dan tak ada sedikit pun amanat yang menyebut presiden sebagai simbol negara.

[BERNAS: Asal-usul Ucapan Legendaris "YNTKTS" Jokowi]

UUD 1945 menempatkan bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan sebagai simbol negara. Pasal 35 menyebut Sang Merah Putih sebagai bendera Indonesia. Pasal 36 mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Sementara, yang dimaksud lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", sebagaimana dinyatakan Pasal 36A. Pasal 36B menyatakan Indonesia Raya sebagai satu-satunya lagu kebangsaan.

Selain itu simbol negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Ditegaskan dalam UU 24/2009:

  • Pasal 1 ayat 1 Bendera Negara NKRI adalah Sang Merah Putih,
  • Pasal 1 ayat 2 Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI,
  • Pasal 1 ayat 3 Lambang Negara NKRI adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
  • Pasal 1 ayat 4 Lagu Kebangsaan NKRI adalah Indonesia Raya.

Serangan digital

Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra menyatakan BEM UI tak akan menghapus unggahan kritik terhadap Jokowi meski menyadari akan ada konsekuensi dari sikap itu. "Iya kemungkinan ya (akan ada konsekuensi terhadap teman-teman BEM)," tutur Leon, dikutip CNN Indonesia.

Teguran rektorat bukan satu-satunya tantangan. Sejumlah anggota BEM UI mengalami peretasan terhadap akun media sosial mereka. Hal itu diumumkan oleh Leon lewat akun Twitternya, @Leon_Avinda. Peretasan itu, kata Leon terjadi pada 27 dan 27 Juni.

Ada empat upaya peretasan yang dialami pengurus BEM UI. Kasusnya bermacam-macam, mulai dari pengambilalihan akun WhatsApp hingga upaya pembobolan akun Telegram. "Kami mengecam keras segala bentuk serangan digital yang dilakukan kepada beberapa pengurus BEM UI 2021," tulis Leon.

Muruah mahasiswa

Dukungan mengalir kepada BEM UI. Ada 44 BEM berbagai kampus di Indonesia dan banyak organisasi masyarakat sipil serta himpunan akademisi menyatakan sikap berdiri di sisi BEM UI. Seluruhnya mengecam rektorat UI yang mengerdilkan kebebasan sipil.

"Dengan adanya surat pemanggilan oleh birokrat UI mengindikasikan bahwa hari ini kebebasan sipil semakin dikerdilkan oleh negara dengan sistematis," tulis pernyataan solidaritas tersebut, Senin, 28 Juni.

Mereka menyuarakan perlawanan terhadap represivitas penyelenggara negara. Gerakan solidaritas itu mendesak Jokowi mematuhi hak-hak sipil dan menjamin kebebasan berpendapat. Mereka juga mendesak birokrat UI untuk menjalankan peran akademis alih-alih berpolitik ria.

Jokowi bersama jajaran pejabat di pemerintahannya (Instagram/@jokowi)

Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Robertus Robet menyoroti kondisi ini sebagai kegagalan para pemegang kebijakan di UI mempertahankan nilai-nilai etik dalam lembaga akademik. "Rektor itu kan civitas academika," tutur Robertus, dihubungi VOI, Senin, 28 Juni.

"Karena itu dia (rektor) sebenarnya diikat oleh satu etika dan budaya akademik. Jadi pendekatannya bukan kekuasaan. Jadi sebisa mungkin pendekatannya akademik," tambah Robertus.

Di mata Robertus yang juga aktivis hak asasi manusia (HAM), pemegang otoritas di UI hari ini menunjukkan sikap yang lebih parah ketimbang zamannya ngampus di UI pada masa Orde Baru. "Bahkan di masa Orde Baru, saya yang pernah kuliah di UI, itu rektor saya itu cukup menjaga jarak.

Demo mahasiswa tahun 1998 (Sumber: Commons Wikimedia)

"Apa maksudnya menjaga jarak? Ya itu setidaknya untuk enggak menjatuhkan sanksi dan segala macam kepada mahasiswa yang melakukan kritik kepada pemerintah," tambah Robertus.

"Saya melihat kecenderungan sekarang banyak pimpinan universitas yang entah dengan alasan apa itu cenderung membawa universitas itu sebagai sarana bagi dia untuk berhubungan dengan segala macam elite. Nah itu akan jangka panjang sebenarnya menurunkan marwah universitas."

Soal mahasiswa dan demokrasi, itu bukan cuma perkara muruah. Secara sejarah, mahasiswa telah terbentuk sebagai subjek politik yang tak lepas dari sikap politis. "Karakter mahasiswa ini terbentuk sebagai bagian dari sejarah politik, di Indonesia dan banyak tempat dunia lain."

"Mahasiswa itu enggak mungkin dilepaskan dari sikap politis karena sedari awal mereka adalah subjek politik. Mereka itu yang sekarang memegang kekuasaan juga yang bertanggung jawab dalam merekonstruksi mahasiswa sebagai subjek politis."

"Jadi enggak bisa dinihilkan. Ini bagian dari tanggung jawab kita sama-sama. Karenanya elite harus lebih santai menghadapi kritik mahasiswa. Kritik mahasiswa itu harus dianggap sebagai ingredient yang normal dalam sistem politik kita sekarang. Suplemen lah dari kehidupan politik reformasi."

*Baca informasi lain tentang BEM UI atau tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya