Golkar Dukung Jokowi Tolak Jabatan Presiden 3 Periode
JAKARTA - Ketua Fraksi Golkar MPR Idris Laena menegaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara yang tak bisa diperdebatkan lagi. Sebab, meski batang tubuh UUD 1945 bisa diamandemen, tetapi hal tersebut tidak mudah karena syarat pengajuan perubahan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Hal ini disampaikan Idris menanggapi wacana amandemen UUD 1945 terkait masa jabatan presiden yang diusulkan dapat diubah menjadi 3 periode.
"Ada pun Pembukaan Undang-undang Dasar Negara 1945 sudah menjadi konsensus bahwa tidak boleh diubah," ujar Idris kepada wartawan, Senin, 21 Juni.
Politikus Golkar itu pun mengomentari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebut, sebanyak 74 persen masyarakat menginginkan adanya batas jabatan presiden hanya 2 periode.
Idris menilai, persepsi tersebut harus dipertahankan. Pasalnya, hal itu sudah sejalan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan.
"Karena itu, kita patut mengapresiasi sikap tegas Presiden Jokowi menolak 3 periode," tegas legislator Riau itu.
Mantan Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Amin itu sangat menyayangkan apabila isu 3 periode presiden ini terus muncul dan digulirkan. Terlebih, Jokowi sendiri tengah fokus mengatasi pandemi.
Sementara, soal hasil survei yang menyatakan mayoritas warga tidak setuju Jokowi maju kembali dalam Pilpres 2024, anggota DPR empat periode itu menilai sudah sesuai dengan pasal 7 UUD 1945.
"Di sana disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," jelasnya.
Menurutnya, mayoritas warga berpendidikan tinggi yang menolak gagasan pencalonan kembali Jokowi dalam Pilpres 2024, menunjukkan bahwa masyarakat ingin agar konstitusi dijalankan secara konsekuen.
"Karena itu, penegasan Jokowi yang menyatakan bahwa yang menginginkan maju kembali yang ketiga kalinya ingin menjerumuskan, bisa saja menjadi kenyataan," tegas Idris.
Idris juga mengatakan bahwa survei 84,3 persen rakyat Indonesia ingin pemilihan presiden tetap dilaksanakan secara langsung, bukan oleh MPR. Dikatakannya, hal ini menggambarkan jika masyarakat ingin mengekspresikan pilihan politiknya kepada orang yang dianggap tepat.
Jika presiden dipilih oleh MPR, kata Idris, tentu menjadi bentuk kemunduran demokrasi.
"Begitu juga soal hasil survei SMRC yang menunjukkan 74 persen rakyat yang berpendapat presiden harus bertanggung jawab kepada rakyat. Ini sejalan dengan konstitusi yang menyebutkan, kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar," jelasnya.
Baca juga:
- Pemerintah Bakal Siapkan Tempat Isolasi Terpusat, Menkes: Pemenuhan Makanan Dilakukan Gotong Royong
- COVID-19 Menggila, Dinkes Jakarta: Ruang Isolasi Terisi 90 Persen, ICU 81 Persen
- Gibran Rakabuming Raka: Pelaku Perusakan Makam di Solo Segera Diproses Sesuai Hukum yang Berlaku
- Gandeng BW dan Febri Diansyah, Denny Indrayana Resmi Gugat Pilgub Kalsel ke MK
Terkait hasil survei yang menunjukkan mayoritas rakyat Indonesia ingin presiden bekerja sesuai dengan janjinya kepada Rakyat, bukan sesuai dengan GBHN. Idris menilai, perlu ada kajian lebih lanjut apakah perlu atau tidak dilakukan pembahasan soal GBHN.
Idris menjelaskan, MPR periode sebelumnya memang telah merekomendasikan perlunya konsep sistem pembangunan model GBHN, yang kemudian di Rumuskan menjadi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Namun kalau pun dapat diwujudkan, tambah Idris, produk hukumnya tidak perlu dengan mengamandemen Konstitusi UUD 1945, tapi cukup dengan Undang-Undang.
"Karena juga mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian maka presiden terpilih dapat mengimplementasikan janji-janjinya dengan dibuat aturan hukum turunannya seperti, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden," kata Idris Laena.