Soal Kenaikan BPJS, Jokowi Disebut Abaikan Legislatif dan Yudikatif

JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 menuai kritik publik. Dia bahkan dianggap mengabaikan saran dari pihak legislatif dan keputusan dari pihak yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dengan menerbitkan Perpres 64/2020 oleh anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay.

Menurut dia, selama ini Komisi IX DPR RI sudah melaksanakan rapat berkali-kali untuk membahas BPJS Kesehatan ini. Baik rapat komisi, rapat gabungan, ataupun rapat bersama kementerian dan lembaga terkait. Tiap rapat, DPR selalu menegaskan jika kenaikan iuran BPJS belum saatnya dilakukan.

"Kelihatannya pemerintah tidak pernah mendengarkan apa yang disampaikan oleh DPR. Padahal kami wakil rakyat selalu mengabaikan. ... Kita selalu mengatakan ini bukan saat yang tepat untuk menaikkan iuran BPJS. Ini sebelum COVID-19, ini artinya ketika COVID-19 itu sangat tidak tepat lagi tapi pemerintah mengabaikan DPR," kata Saleh Daulay dalam sebuah acara diskusi daring yang ditayangkan di YouTube, Minggu, 17 Mei.

Selain mengabaikan pihak legislatif, dia menilai, pemerintah juga mengabaikan Mahkamah Agung. Sebab, MA telah membatalkan kenaikan iuran yang sebelumnya dan dalam putusannya, kata Saleh, ada sejumlah rekomendasi agar iuran tersebut tak dinaikkan. Termasuk soal kemampuan masyarakat dan internal BPJS yang perlu diperbaiki.

"Tapi kan lagi-lagi pemerintah menaikkan dengan menerbitkan Perpres baru. Ini kan seakan-akan pemerintah kita sudah mendesain akan menolak mengurungkan niatnya menaikkan iuran BPJS," jelas dia.

"Jadi ada dua pilar, legislatif dan yudikatif yang diabaikan oleh pemerintah. Itu serius, lho," imbuh politikus PAN ini.

Dia mengakui, jika saat ini iuran BPJS Kesehatan kembali ke tarif seperti yang diatur dalam Perpres 82/2019 hingga bulan Juli 2020. "Berarti hanya tiga bulan pemerintah menjalankan putusan MA. Ini kan artinya, kalau menurut saya, pemerintah berselancar di atas putusan MA," tegasnya.

Menurut Saleh, pemerintah bukannya tidak boleh menaikkan iuran BPJS. Hanya saja, selama tata kelolanya tidak diperbaiki seperti rekomendasi-rekomendasi yang sudah ada maka sebaiknya langkah ini dilakukan. Sebab, menaikkan BPJS akan menjadi langkah yang tidak solutif.

Dirinya juga melihat pemerintah saat ini terlalu banyak mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) dan kebanyakan menimbulkan kontroversi. Sehingga, hal-hal semacam ini harus dicegah mengingat bisa menggerus kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Perpres 64/2020 ini, kata dia, juga berpeluang untuk digugat oleh masyarakat yang keberatan dengan Perpres tersebut dan kemungkinan menangnya sangat tinggi.

"Kalau seandainya ada gugatan dan menang lagi. Dua kali dong dibatalkan, apa presiden tidak malu?" tanya dia.

Bertahan dengan argumen menjaga kualitas

Dalam diskusi tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin kembali menegaskan jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan seperti yang disampaikan dalam Perpres 64/2020 semata-mata untuk menjaga kualitas jaminan kesehatan tersebut.

"Jadi poin yang paling penting adalah kenaikan iuran untuk menjaga kualitas dan kesinambungan kesehatan," ungkap Ali.

Dia mengakui, pembatalan kenaikan iuran yang sebelumya dilakukan oleh Mahkamah Agung ternyata memberikan pengaruh dan performa masyarakat terutama saat membiayai pasien COVID-19 di tengah pandemi seperti sekarang ini.

"Dalam situasi pandemi hari ini Presiden menginginkan BPJS tetap melayani masyarakat dan mendukung pembiayaan pasien COVID-19," kata dia.

Sehingga, atas dasar inilah Perpres 64/2020 kemudian diterbitkan. Lagi pula, Ngabalin menilai, pemerintah telah memperhatikan putusan Mahkamah Agung. Selain itu, keputusan kenaikan ini menjadi ranah pihak eksekutif sehingga ketika Perpres terbit tidak ada tanggapan yang keluar dari Mahkamah Agung.

"Ketika Perpres diterbitkan tidak mendapat banyak tanggapan dari MA karena ini menyangkut hal eksekutif dalam pengambilan keputusan," tutupnya.

Diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, setelah sebelumnya sempat dibatalkan. Kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa 5 Mei. Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34 berikut bunyinya:

Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35 ribu.

Perpres ini menyebutkan, ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli.